Sabtu, 11 Juni 2011

WAHSYI BIN HARB

0 komentar
WAHSYI BIN HARB

“Wahsyi bin Harb membunuh orang yang terbaik sesudah nabi Muhammad namun juga membunuh orang yang terjelek. (Ahli sejarah)
Siapakah orang yang melukai hati Rasulullah Saw. ketika membunuh paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthalib pada perang Uhud? Siapakah yang menyenangkan hati beliau dengan membunuh Musailamah al-Kadzdzab pada perang Yamamah.
Dia adalah Wahsyi bin Harb, atau yang mempunyai julukan Abi Dasamah. Wahsyi mempunyai kisah yang sangat menarik, menyedihkan dan menegangkan. Siapkanlah pendengaran anda untuk mendengarkan kisah yang akan diceritakan sendiri oleh Wahsyi bin Harb. Wahsyi bercerita,
Dulu aku adalah seorang budak muda milik Muth’im bin ‘Adi, salah seorang pemimpin suku Quraisy. Pamannya bernama Thu’aimah. Thuaimah terbunuh di tangan Hamzah bin Abdul Muthalib pada perang badar. Muth’im bin Adi sangat sedih sekali dengan kematiannya. Dia bersumpah demi Latta dan ‘Uzza untuk membalas dendam kematian pamannya, dia juga berjanji akan membunuh pembunuh pamannya.
Muth’im bin Adi menunggu-nunggu waktu yang tepat untuk membunuh Hamzah.
Tidak berselang lama setelah perang Badar kaum Qurasiy mengadakan kesepakatan untuk keluar ke Uhud, melampiaskan pembalasan  mereka kepada Muhammad bin Abdillah, dan membalas kematian saudara-saudara mereka yang terbunuh di perang Badar. Kaum Quraisy menyiapkan pasukan perang mereka. Mereka menyatukan persekutuan mereka, lalu menyerahkan kepemimpinan mereka kepada Abu Sufyan bin Harb.
Abu Sufyan mempunyai gagasan untuk mengikutsertakan para pemimpin Quraisy yang mempunyai anak, ayah, saudara atau kerabat mereka yang  terbunuh di Badar. Hal itu agar menambah semangat pasukan mereka dalam berperang dan meminimalisir pasukan yang melarikan diri. Di antara perempuan yang ikut serta dalam peperangan tersebut adalah istri Abu Sufyan, Hindun binti ‘Utbah. Semua saudaranya, pamannya dan ayahnya terbunuh dalam perang Badar.
Ketika pasukan Quraisy hampir berangkat, Jubair bin Muth’im menoleh ke arahku dan berkata, “Wahai Abu Dasamah (Wahsyi), apakah engkau ingin membebaskan dirimu dari perbudakan?”
Aku bertanya, “Siapakah yang akan membebaskanku?”
Jubair berkata, “Aku yang akan membebaskanmu.”
Aku bertanya, “Apa syaratnya?”
Jubair menjawab, “Jika engkau berhasil membunuh Hamzah bin Abdil Muthalib, paman nabi Muhammad, demi pamanku Thu’aimah bin ‘Adi, aku akan membebaskanmu.”
Aku bertanya, “Siapakah yang akan memberikan jaminan padaku dengan janjimu?”
Jubair berkata, “Terserah kamu. Aku akan mempersaksikan janjiku ini kepada semua manusia.”
Aku menjawab, “Aku akan melakukannya. Dan aku akan merdeka.”
Wahsyi melanjutkan ceritanya,
Aku adalah orang Habasyi, aku adalah pelempar panah Habasyi yang tidak pernah meleset sama sekali.
Akhirnya aku mengambil tombakku dan aku berangkat dengan pasukan kaum musyrikin. Aku berjalan di barisan belakang di dekat perempuan. Aku tidak mempunyai tujuan yang jelas dalam peperangan tersebut.
Setiap kali aku melewati Hindun, istri Abu Sufyan atau ketika dia melewatiku dan melihat tombak yang berkilauan di tanganku di bawah terik matahari, dia berkata, “Wahai Abu Dasamah! Sembuhkanlah luka hati kami (dengan membunuh muslimin), niscaya engkau akan merdeka.”
Ketika kami sampai di Uhud dan dua pasukan bertemu, aku mencari-cari keberadaan Hamzah bin Abdul Muthalib. Sebelumnya aku sudah mengenalnya. Hamzah tidak asing bagi siapapun, karena dia memakai bulu burung onta di kepalanya untuk menunjukkan kepahlawanannya. Sebagaimana yang biasa dilakukan orang-orang perkasa dari orang-orang Arab yang pemberani.
Tidak berselang lama, aku melihat Hamzah bin Abdil Muthalib. Hamzah berperang dengan dahsyat di arena peperangan, laksana unta yang sangat ganas. Dia menebas leher musuh dengan sangat mengerikan. Tidak ada orang yang bertahan dengan kuat di depannya dan tidak ada orang yang bisa menghadapinya.
Ketika aku bersiap-siap untuk membunuhnya, aku bersembunyi di balik pohon atau di balik batu besar sambil menunggu agar dia mendekat padaku. Tiba-tiba ada salah seorang penunggang kuda yang mendahuluiku. Orang itu bernama Siba’ bin Abdul ‘Uzza. Dia berkata, “Wahai Hamzah, hadapilah aku, hadapilah aku..”
Lalu Hamzahpun menghadapinya seraya berkata, “Marilah berhadap-hadapan denganku wahai anak musyrik! Majulah!”
Seketika itu juga Hamzah bin Abdil Muthalib menyabetkan pedangnya dan mengenai Siba’. Siba’ bin Abdul ‘Uzzah tersungkur mati dengan bersimbah darah di hadapan Hamzah.
Pada waktu itulah aku mencari posisi untuk membunuh Hamzah. Aku mengarahkan tombakku. Dan ketika aku sudah tenang, aku melemparkan tombakku hingga mengenai bawah perutnya dan tombak itu tembus di bagian antara dua kakinya.
Hamzah melangkah dua langkah dengan berat ke arahku. Kemudian Hamzah terjatuh dan tombak masih tertancap di tubuhnya. Aku membiarkan tombakku dalam tubuhnya sampai aku sangat yakin bahwa dia benar-benar sudah meninggal. Kemudian aku menghampiri jasadnya dan mencabut tombakku dari tubuhnya, setelah itu aku kembali ke tenda. Setelah itu aku duduk di dalam tenda, karena aku tidak mempunyai tujuan selain membunuh Hamzah. Aku membunuhnya agar aku bisa merdeka.
Peperangan berlangsung sangat sengit. Banyak di antara mereka yang tetap bertahan dalam peperangan namun ada juga yang melarikan diri. Hanya saja kekalahan nampak pada pasukan Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Banyak sekali di antara mereka yang meninggal dunia.
Pada waktu itulah pergilah Hindun binti ‘Utbah menuju korba-korban tewas dari kalangan kaum muslimin. Di belakang Hindun terdapat para wanita dari kalangan musyrikin yang mengikuti Hindun. Mereka berdiri di depan mayat kaum muslimin, mereka membelah perut mayat-mayat kaum muslimin, mencukil mata mereka, memotong hidung mereka, bahkan memotong telinga mereka.
Mereka membuat potongan telinga dan hidung kaum muslimin menjadi kalung dan anting-anting lalu memakainya. Di antara mereka ada yang menyerahkan kalung dan anting kuping serta hidung itu kepadaku. Mereka berkata, “Kalung dan anting itu untukmu wahai Abu Dasamah! Simpanlah, karena harganya mahal!”
Ketika perang sudah mereda dan usai. Aku bersama dengan para pasukan kembali ke Makkah. Jubair bin Muth’im berbuat baik padaku dengan menepati janjinya, memerdekakan diriku. Akhirnya aku merdeka.
****
Namun tenyata agama yang dibawa oleh Muhammad semakin hari semakin berkembang. Pengikutnya semakin hari semakin bertambah. Dan setiap kali agama Muhammad bertambah kuat, aku semakin dilanda kesusahan. Aku selalu merasakan ketakutan dan kecemasan dalam diriku.
Aku terus merasakan hal tersebut, hingga akhirnya Rasulullah Saw. beserta pasukannya yang sangat banyak berhasil menaklukkan kota Makkah. Pada waktu itu aku pergi melarikan diri untuk mencari aman di Thaif.
Namun ternyata lambat laun kebanyakan penduduk Thaif juga memeluk Islam. Mereka menyiapkan utusan mereka untuk bertemu dengan nabi Muhammad serta mengikrarkan keislaman mereka.
Aku semakin bertambah menyesal dan bertambah bingung. Dunia yang luas terasa sempit olehku. Semua jalan terasa buntu. Aku berkata dalam diriku, “Aku akan pergi ke Syam, ke Yaman, atau ke negeri-negeri lain. Demi Allah, ketika aku dalam kondisi yang sangat kesusahan seperti ini, tiba-tiba datang seorang yang mau berbelas kasihan dan memberikan nasehat padaku. Orang tersebut berkata, “Celakalah kamu wahai Wahsyi! Sungguh Muhammad tidak akan membunuh seorangpun yang masuk ke dalam agamanya dan mau bersyahadat dengan benar.”
Setelah mendengar nasihatnya, seketika aku langsung keluar dan pergi menuju Madinah untuk mencari nabi Muhammad. Ketika aku sampai di Madinah, aku mencari tahu keberadaan beliau, dan ternyata beliau berada di masjid. Akupun memberanikan diri masuk ke dalam masjid dengan sangat takut dan khawatir. Aku pergi menghadapnya hingga aku berada di atas kepalanya. Aku mengatakan, “Aku bersaksi bahwa Tidak ada Tuhan Yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan RasulNya.”
Ketika beliau mendengar ucapan dua kalimat syahadat, beliau mengangkat pandangannya ke arahku. Ketika beliau mengetahui bahwa yang mengucapkan dua kalimat syahadat adalah diriku, belaiau kembali menundukkan pandangan beliau. Rasulullah bertanya, “Apakah engkau Wahsyi?”
Aku menjawab, “Betul wahai Rasulullah.”
Rasulullah berkata, “Duduklah dan ceritakanlah kepadaku bagaimana engkau membunuh Hamzah?”
Lalu aku duduk dan menceritakan peristiwa pembunuhan Hamzah kepada beliau. Ketika aku selesai menceritakannya, Rasulullah memalingkan wajahnya dariku seraya berkata, “Celakalah kamu wahai Wahsyi! Sembunyikanlah wajahku dariku. Aku tidak akan melihat wajahmu lagi setelah hari ini.”
Sejak hari itulah aku selalu menghindarkan wajahku agar tidak sampai terlihat oleh Rasulullah Saw.. Apabila para sahabat duduk di depan beliau, aku justru duduk di belakang beliau. Aku terus melakukan hal tersebut hingga Rasulullah wafat.
****
Wahsyi melanjutkan ceritanya, meskipun aku tahu bahwa agama Islam menghapus semua perbuatan di waktu kafir, namun aku masih selalu terbayang-bayang dengan perbuatan keji yang aku lakukan maupun musibah besar yang aku timpakan kepada Islam dan kaum muslimin. Aku selalu mencari kesempatan untuk melakukan perbuatan yang dapat menghapuskan kesalahan masa laluku.
****
Ketika Rasulullah Saw. wafat dan kepemimpinan kaum muslimin berada di tangan sahabatnya, Abu Bakar, penduduk Bani Hanifah, para pengikut Musailamah al-Kadzdzab murtad dari Islam. Akhirnya khalifah Rasulullah Saw. Abu Bakar mengerahkan pasukannya untuk memerangi Musailamah dan mengembalikan Bani Hanifah kepada Islam.
Aku berkata dalam diriku, “Wahai Wahsyi, Demi Allah, sungguh ini merupakan kesempatan yang harus kau gunakan. Jangan sampai kesempatan ini lepas darimu.”
Lalu aku keluar bersama tentara kaum muslimin. Aku membawa tombak yang aku gunakan untuk membunuh pemuka para syuhada’ Hamzah bin Abdul Muthalib. Aku bertekad kuat dalam diriku untuk melemparkan tombak tersebut ke tubuh Musailamah hingga dia tewas, atau aku yang akan menemui syahid.
Ketika kaum muslimin bertempur dengan para pengikut Musailamah dan menyerang musuh-musuh Allah di kebun kematian,[1] aku mengawasi gerak-gerik Musailamah. Aku melihat Musailamah berdiri dengan pedang di tangannya. Aku juga melihat ada salah seorang sahabat dari kalangan anshar yang juga mengintainya seperti diriku. Kami berdua-dua bertekad untuk membunuhnya.
Ketika aku sudah berada pada posisi yang sangat strategis, aku menyiapkan tombakku. Ketika sudah siap, aku langsung  melemparkannya ke arah Musailamah. Dan ternyata tombakku berhasil menembus tubuhnya.
Pada saat yang sama ketika aku melemparkan tombakku, orang anshar itu berada di atas tubuh Musailamah lalu menyabetkan pedangnya ke tubuhnya dengan sekali sabetan.
Allah lebih tahu, siapa sebenarnya yang membunuhnya. Jika ternyata aku yang berhasil membunuhnya, maka sungguh aku sudah membunuh sebaik-baik orang sesudah nabi Muhammad dan juga membunuh sejelek-jelek manusia.” 

[1] Kebun tersebut digunakan oleh para pengikut Musailamah untuk menyelamatkan diri. Dinamakan kebun kematian karena banyaknya korban tewas dari pasukan Musailamah di kebun tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar