Sabtu, 11 Juni 2011

JA’FAR BIN ABDUL MUTHALIB

0 komentar

JA’FAR BIN ABDUL MUTHALIB

 
Aku melihat Ja’far di surga mempunyai dua sayap yang basah mengeluarkan darah (Hadis nabi)
Dari keturunan bani Abdi Manaf, ada lima orang yang sangat mirip sekali dengan Rasulullah. Hingga banyak sekali mata yang tidak mengetahui apakah itu Rasulullah atau bukan.
Tidak diragukan lagi pasti para pembaca yang budiman ingin mengetahui siapa saja lima orang yang menyerupai Rasulullah Saw. tersebut.
Mari kita mengenal mereka. Mereka adalah, yang pertama, Abu Sufyan bin Haris bin Abdul Muthalib, sepupu Rasulullah dan saudara sepersusuan beliau. Yang kedua, Qutsam bin Abbas bin Abdul Muthalib, juga sepupu beliau. Yang ketiga, Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim, kakek Imam Syafi’i Ra. Yang keempat adalah, Hasan bin Ali, cucu Rasulullah Saw, dialah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Sedangkan yang terakhir adalah Ja’far bin Abdul Muthalib, saudara Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib.
Mari kita simak bersama-sama sejarah kehidupan Ja’far.
Abu Thalib, adalah orang yang mempunyai anak banyak dan kehidupan yang sederhana, meskipun dikenal dengan kemuliaan dan ketinggian derajatnya di kalangan kaum Quraisy.
Dari hari ke hari kondisinya semakin kekurangan karena musim paceklik di Makkah saat itu. Semua binatang ternak mati, dan semua manusia hanya bisa makan tulang-tulang kering.
Pada waktu itu dari kalangan bani Hasyim tidak ada orang yang lebih kaya dari Muhammad bin Abdillah dan pamannya Abbas.
Muhammad berkata kepada Abbas, “Wahai pamanku, sesungguhnya saudaramu, Abu Thalib mempunyai keluarga yang banyak. Sedangkan saat ini semua orang tertimpa musim paceklik hingga kelaparan, sebagaimana yang engkau lihat. Pergilah bersamaku untuk lalu kita menanggung salah satu di antara keluarganya. Aku menanggung satu anaknya dan engkau menanggung satu anaknya yang lain kemudian kita cukupi nafkahnya.
Akhirnya keduanya pergi hingga sampai di rumah Abu Thalib. Sesampainya di rumah Abu Thalib keduanya berkata, “Kedatangan kami untuk meringankan beban keluarga yang engkau tanggung agar engkau dapat terhindar dari krisis yang menimpa penduduk kita.”
Abu Thalib berkata, “Jika yang kalian ambil bukan Aqil bin Abu Thalib, maka silahkan.” Lalu nabi Muhammad mengambil Ali sebagai tanggungannya, sedangkan Abbas mengambil Ja’far dan membawanya berkumpul bersama keluarganya.
Ketika Ali hidup bersama Rasulullah, Allah mengutusnya dengan membawa agama petunjuk dan kebenaran. Ali adalah pemuda pertama yang beriman kepada Rasulullah.
Sedangkan Ja’far hidup bersama Abbas hingga besar kemudian masuk islam dan mengambil manfaat dari Islam. Ja’far bin Abi Thalib masuk ke dalam Islam bersama istrinya Asma’ binti Umais sejak pertama kali Rasulullah diutus.
Keduanya masuk Islam lewat perantara Abu Bakar as-Shiddiq sebelum Rasulullah masuk ke Darul Arqam.
Ja’far beserta istrinya juga merasakan gangguan kaum Quraisy sebagaimana yang dirasakan oleh kaum muslimin generasi pertama lainnya. Keduanya menjalani semuanya dengan sabar, karena mereka yakin bahwa jalan masuk menuju surga dipenuhi dengan duri-duri yang menyakitkan. Namun yang melemahkan semangat mereka adalah melarang mereka untuk melaksanakan syariat Islam. Kaum Quraisy juga melarang mereka merasakan nikmatnya ibadah. Mereka selalu mengawasi kaum muslimin dari berbagai arah dan selalu mengintai mereka.
Pada waktu itulah Ja’far bin Abi Thalib beserta istrinya minta izin kepada Rasulullah untuk berhijrah ke Habasyah bersama dengan beberapa orang dari kalangan sahabat. Rasulullah mengizinkan mereka dengan penuh kesedihan yang menyelimuti beliau.
Rasulullah merasa berduka karena para sahabat yang sangat baik dan suci itu hendak meninggalkan rumah mereka dan meninggalkan kampung halaman tempat dimana mereka dibesarkan. Mereka meninggalkan tempat yang dulu mereka nimati sewaktu remaja bukan karena sebab dosa yang mereka lakukan. Mereka hanya mengatakan, “Sesembahan kami adalah Allah.” Namun Rasulullah juga sadar bahwa beliau tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk menghadapi siksaan kafir Quraisy.
Berangkatlah rombongan pertama hijrah menuju Habasyah di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib Ra. Mereka hidup di bawah perlindungan raja Najasyi, raja mereka yang adil dan shaleh.
Untuk pertama kalinya setelah mereka masuk Islam mereka mendapatkan rasa aman. Mereka dapat merasakan manisnya ibadah tanpa diganggu oleh siapapun yang merusak kenikmatan beribadah atau kebahagiaan mereka.
Namun kafir Quraisy ketika mengetahui perginya beberapa kaum muslimin ke negeri Habasyah, mereka tidak tinggal dengan kaum muslimin yang merasakan nikmatnya ibadah dan merasakan aman yang mereka. Kafir Quraisy memberikan ancaman kepada raja Habasyah agar membunuh kaum muslimin atau memulangkan mereka menuju penjara besar (Makkah).
Kita simak bersama penuturan Ummu Salamah yang mendengar dan melihat peristiwa tersebut dengan mata kepala dan telinganya sendiri.
Ummu Salamah bercerita,
Ketika kami sampai di Habasyah, kami merasakan hubungan pertetanggaan yang baik. Kami merasa aman dengan agama kami. Kami menyembah Allah Swt. tanpa ada gangguan atau kami mendengar sesuatu yang kami benci. Ketika kaum Quraisy mengetahui hal tersebut mereka mengirimkan dua juru runding yang sangat kuat kepada raja Najasyi. Kedua orang kuat tersebut adalah Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Keduanya membawa hadiah yang sangat melimpah dan terbaik dari  negeri Hijaz untuk raja Najasyi dan para pendeta mereka. Kaum Quraisy memberikan perintah kepada keduanya agar memberikan hadiah yang sangat berharga tersebut kepada semua pendeta sebelum mereka berbicara dengan raja Najasyi mengenai masalah kaum muslimin.
***
Sesampainya kedua Quraisy itu di Habasyah keduanya langsung membagi-bagikan hadiah tersebut kepada semua pendeta. Mereka semua mendapatkannya tanpa ada yang tidak mendapatkannya satu orangpun. Kedua orang tersebut berkata kepada raja Najasyi, “Ada beberapa orang kaumku yang bodoh tinggal di negeri raja. Mereka keluar dari agama nenek moyang mereka dan mereka memecah belah persatuan negeri kami. Jika nanti kami merundingkan masalah ini dengan raja, maka bantulah kami untuk mendesaknya agar menyerahkan kaum kami tanpa bertanya tentang agama mereka. Karena tokoh mereka lebih mengetahui agama mereka dan lebih mengetahui keyakinan mereka.”
Para pendeta menjawab, “Baiklah.”
Ummu Salamah berkata, “Yang paling dibenci oleh Amr bin Ash dan temannya ialah apabila raja Najasyi memanggil dan mendengarkan alasan  salah seorang dari kami.
Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah menghadap raja Najasyi dan memberikan hadiah yang mereka bawa kepadanya. Raja Najasyi sangat senang dan kagum dengan hadiah tersebut. Akhirnya kedua orang Quraisy tersebut berkata, “Wahai Raja, ada beberapa orang-orang jahat dari kaum kami yang berlindung ke negerimu. Mereka pergi dengan membawa agama yang tidak kami tidak kenal dan kalianpun tidak mengenalnya. Mereka meninggalkan agama kami dan tidak masuk ke dalam agamamu.”
“Kami diutus oleh para pemuka kaum mereka, bapak maupun keluarga mereka agar engkau mengembalikan mereka pada kami. Mereka adalah manusia yang paling pandai melakukan fitnah.
Raja Najasyi melihat para pendetanya, para pendeta berkata, “Keduanya benar wahai Raja.  Para tokoh mereka lebih mengetahui tentang mereka. Kembalikanlah orang-orang tersebut ke negeri mereka dan biarkanlah pemuka kaum mereka yang mengambil tindakan.”
Sang raja sangat marah dengan perkataan pendetanya. Raja berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka sebelum aku memanggil mereka. Aku akan menanyakan kepada mereka dengan pengakuan yang kalian lontarkan pada mereka. Jika mereka seperti yang disampaikan oleh kedua orang tersebut maka aku akan menyerahkan mereka untuk kalian berdua. Jika ternyata mereka tidak seperti yang dituduhkan, maka aku akan tetap melindungi mereka, berbuat baik dengan mereka dan bertetangga dengan mereka selagi mereka mau tinggal di negeri kami.”
****
Ummu Salamah melanjutkan ceritanya,
Lalu raja Najasyi memanggil kami untuk bertemu dengannya. Sebelum kami menghadapnya kami mengadakan musyawarah. Salah seorang dari kami berkata, “Nanti raja akan bertanya kepada kalian tentang agama kalian. Tunjukkanlah keimanan yang kalian pegang. Hendaklah yang berbicara adalah Ja’far bin Abi Thalib, jangan ada yang berbicara selainnya.”
Kemudian kami pergi menghadap raja Najasyi. Kami dapati raja sudah memanggil para pendetanya. Mereka duduk di samping kanan dan samping kiri raja. Mereka memakai jubah dan peci mereka, mereka juga membentangkan kitab di depan mereka. Di dekat mereka ada Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah.
Ketika kami sudah duduk tenang, raja Najasyi menoleh ke arah kami dan bertanya, “Apa agama yang kalian sering bincangkan hingga sebab agama itu kalian berpisah dengan kaum kalian. Kalian juga tidak masuk ke dalam agamaku, dan juga tidak masuk dalam agama manapun.”
Majulah Ja’far bin Abi Thalib dan berkata, “Wahai raja, dulu kami adalah kaum jahiliyyah (bodoh). Kami menyembah berhala dan makan bangkai, kami melakukan perbuatan keji dan memutuskan tali persudaraan dan kami berbuat jahat dengan tetangga. Orang-orang yang kuat di antara kami memakan yang lemah. Kami terus menerus dalam kondisi seperti itu hingga Allah mengutus seorang Rasul dari kalangan kami. Kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, amanatnya, dan kehati-hatiannya dalam menjaga diri.”
“Rasul tersebut menyeru kami untuk menyembah Allah saja dan tidak menyekutukan dengan siapapun. Dia juga memerintahkan kami untuk meninggalkan sesembahan yang dulu kami sembah dari selainNya baik itu berupa patung maupun berhala dari batu.”
“Rasulullah memerintahkan kami untuk berkata jujur, menunaikan amanat, menyambung tali silaturrahim dan bertetanggga dengan baik. Dia menyuruh kami untuk menghindari hal-hal haram dan pertumpahan darah. Rasulullah juga melarang kami dari perbuatan keji, dusta, memakan harta anak yatim, dan menuduh wanita baik-baik berzina.”
“Rasulullah memerintahkan kami untuk mengesakan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, dan berpuasa di bulan Ramadlan.”
“Kami membenarkannya dan beriman dengannya. Kami mengikuti semua yang turun dari Allah. Kami menghalalkan yang Allah halalkan dan mengharamkan yang Allah haramkan untuk kami.”
“Wahai Raja, sedangkan kaum kami memusuhi kami menyiksa kami dan siksaan yang sangat pedih agar kami keluar dari agama kami dan mengembalikan kami pada peribadatan kepada patung.”
“Ketika mereka terus menzalimi kami, memaksa kami, menyudutkan kami, dan menghalang-halangi kami dari agama kami, akhirnya kami pergi ke negerimu. Kami lebih memilihmu dari selainmu. Kami lebih senang hidup berdampingan denganmu dengan harapan engkau tidak berbuat zalim pada kami.”
Lalu Raja Najasyi menoleh ke arah Ja’far bin Abi Thalib dan bertanya, “Apakah engkau membawa sesuatu yang dibawa oleh nabiMu dari Allah?” Ja’far menjawab, “Iya, kami membawanya.” Raja Najasyi berkata, “Bacakanlah padaku!”
Lalu Ja’far bin Abi Thalib membaca,
Èÿè‹g!2 ÇÊÈ ãø.ÏŒ ÏMuH÷qu‘ y7În/u‘ ¼çny‰ö7tã !$­ƒÌŸ2y— ÇËÈ øŒÎ) 2”yŠ$tR ¼çm­/u‘ ¹ä!#y‰ÏR $wŠÏÿyz ÇÌÈ
1.Kaaf Haa Yaa ‘Ain Shaad.2.(yang dibacakan Ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria, 3.  Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. (Maryam: 1-3)
Ja’far bin Abi Thalib membaca hingga selesai permulaan surat.
Mendengar ayat tersebut raja Najasyi menangis tersedu-sedu hingga air matanya membasahi jenggotnya. Para pendetanyapun juga turut menangis hingga membasahi kitab mereka setelah mereka mendengar ayat Allah.
Di sinilah raja Najasyi berkata kepada kami, “Inilah yang dibawa nabi kalian dan nabi Isa dari satu cahaya.”
Kemudian raja Najasyi menoleh ke arah Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah seraya berkata, “Pergilah, demi Allah, selamanya kami tidak akan menyerahkan mereka kepadamu.”
Ummu Salamah berkata, “Ketika kami keluar dari hadapan raja Najasyi, Amr bin Ash mengancam kami dan berkata kepada temannya, “Demi Allah, besok aku akan menghadap raja Najasyi. Aku akan menyebutkan masalah-masalah agama mereka yang membuat dadanya dipenuhi dengan api kemarahan dan kebencian kepada mereka. Aku juga akan membuat raja Najasyi mencabut mereka hingga ke akar-akarnya.”
Lalu Abdullah bin Abi Rabi’ah berkata, “Janganlah engkau melakukan hal tersebut wahai Amr bin Ash. Mereka juga saudara kita, meskipun mereka berbeda dengan kita.”
Amr bin Ash menjawab, “Biarkanlah aku! Biarkanlah aku! Demi Allah aku akan memberitahukannya dengan apa yang membuat kaki mereka terguncang. Demi Allah aku akan mengatakan kepada raja Najasyi bahwa mereka mengatakan bahwa Isa adalah budak.”
Dan benar, keesokan harinya Amr menghadap raja Najasyi. Amr berkata kepada raja Najasyi, “Wahai raja, sesungguhnya mereka yang berlindung kepadamu mengatakan masalah yang sangat fatal tentang Isa bin Maryam. Panggillah mereka dan tanyakan pada mereka masalah tersebut.”
Ummu Salamah bercerita, “Ketika kami mendengar hal tersebut kami merasa gundah dan panik, kami belum pernah sedikitpun merasakan kondisi tersebut.”
Salah seorang dari kami berkata, “Apa yang akan kalian katakan jika raja Najasyi bertanya mengenai Isa bin Maryam?”
Lalu kami berkata, “Demi Allah, kami tidak akan mengatakan kecuali seperti yang dikatakan Allah. Kami tidak akan keluar seujung kukupun dari yang dibawa Rasulullah. Semoga dengan itu akan terjadi apa yang akan terjadi.”
Akhirnya kami sepakat bahwa yang akan memberikan jawaban juga Ja’far bin Abi Thalib.
Ketika raja Najasyi memanggil kami, kamipun menghadapnya. Kami mendapati para pendeta di sekitar raja dengan kitab di depan mereka, persis seperti hari sebelumnya. Di hadapan raja juga terdapat Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah.
Ketika kami sudah berada di hadapan raja, dengan segera raja bertanya kepada kami, “Apa yang kalian katakan mengenai Isa bin Maryam?”
Ja’far bin Abi Thalib menjawabnya, “Kami akan mengatakannya sesuai dengan yang dikatakan oleh nabi kami Saw.”
Raja Najasyi bertanya, “Apa yang dikatakan oleh nabi kalian?”
Ja’far menjawab, “Nabi kami mengatakan bahwa Isa adalah hamba Allah dan RasulNya. Isa adalah utusan Allah dan kalimatNya yang dia titipkan dalam janin Maryam, wanita yang suci dan masih gadis.”
Ketika raja Najasyi mendengar jawaban Ja’far, seketika dia memukulkan tangannya ke atas tanah seraya berkata, “Demi Allah, tidaklah Isa bin Maryam keluar seujung rambutpun dari yang kalian sampaikan dari nabi kalian.”
Terdengar suara berisik dari para pendeta sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap perkataan raja Najasyi. Raja Najasyi berkata, “Meskipun kalian tidak setuju.”
Lalu raja Najasyi menoleh ke arah kami seraya berkata, “Pergilah kalian, akan kujamin keselamatan kalian. Barangsiapa yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa yang melawan kalian maka akan mendapat hukuman. Demi Allah aku tidak senang memiliki segunung emas, sedangkan salah seorang dari kalian tertimpa perbuatan yang tidak diinginkan.”
Lalu raja Najasyi menoleh ke arah Amr bin Ash dan sahabatnya seraya berkata, “Kembalikan hadiah-hadiah kepada kedua orang ini! Aku tidak membutuhkannya!”
Ummu Salamah berkata, “Keluarlah Amr bin Ash dan sahabatnya dalam keadaan malu, terhina dan perasaannya hancur bertubi-tubi. Sedangkan kami tetap tinggal di rumah yang paling mulia dan tetangga yang paling baik.
****
Ja’far bin Abi Thalib beserta istrinya tinggal di Habasyah dengan penghormatan dari raja Najasyah selama 10 tahun dalam keadaan tenang dan tenteram.
Dan pada tahun 7 H keduanya pergi meninggalkan Habasyah bersama dengan beberapa kaum muslimin menuju kota Madinah. Sesampainya mereka di Madinah ternyata Rasulullah juga baru saja kembali dari Khaibar[1], setelah Allah menaklukkannya.
Rasulullah Saw. sangat bahagia sekali bertemu dengan Ja’far.  Aku tidak tahu apakah yang paling membuat beliau bahagia. Apakah karena ditaklukkannya benteng Khaibar ataukah karena bertemu dengan Ja’far?
Kebahagiaan semua kaum muslimin dan orang-orang miskin dengan kedatangan Ja’far bin Abi Thalib belum seberapa dibandingkan kebahagiaan beliau.
Ja’far adalah orang yang sangat sayang dan pengertian dengan orang-orang miskin bahkan sering berbuat baik kepada mereka, hingga mendapatkan julukan ‘Ayah orang-orang miskin’.
Abu Hurairah menceritakan masalah tersebut, “Sebaik-baik manusia untuk kami orang miskin adalah Ja’far bin Abi Thalib. Dia sering mengajak kami ke rumahnya dan memberikan kami semua makanan yang dia miliki. Hingga ketika semua makanannya sudah habis, dia mengeluarkan kantong yang biasa dia pakai untuk tempat keju. Keju yang ada di dalamnya sudah habis. Lalu kami membelahnya dan menjilati sisa-sisa keju yang ada di dalamnya.
Ja’far tidak tinggal lama di Madinah. Pada awal tahun 8 Hijrah Rasulullah Saw. menyiapkan pasukan untuk memerangi bangsa Romawi. Rasulullah mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai panglima dalam pasukan tersebut. beliau bersabda, “Jika Zaid terbunuh atau terluka, maka panglima yang menggantikannya adalah Ja’far bin Abi Thalib. Jika Ja’far bin Abi Thalib terbunuh, maka panglima yang menggantikannya adalah Abdullah bin Rawahah. Jika Abdullah bin Rawahah juga terbunuh, maka biarlah kaum muslimin yang memilih sendiri panglima dari kalangan mereka.”
Dan ketika pasukan muslimin sampai di Mu’tah, yaitu sebuah desa yang terletak di depan Syam, Yordania. Mereka mendapati pasukan Romawi mengerahkan 100.000 pasukannya ditambah dengan 100.000 pasukan nasrani dari kalangan arab yang berasal dari kabilah Lakhm, Judzam dan Qudza’ah dsb.
Sedangkan pasukan muslimin hanya berjumlah 3000 pasukan.
Ketika perang mulai berkecamuk, seketika itu juga Zaid bin Haritsah tersungkur syahid dalam keadaan menghadapi peperangan bukan melarikan diri. Dengan cepat Ja’far bin Abi Thalib melompat ke atas kuda yang baru saja ditunggangi Zaid. Ja’far menusuk kuda tersebut hingga mati agar tidak dapat digunakan oleh musuh.
Ja’far merengsek ke dalam barisan musuh dengan membawa panji perang seraya bersyair,
Alangkah indahnya surga
Isinya menyenangkan dan makanannya lezat-lezat
Sedangkan bangsa Romawi telah dengan siksaannya
Mereka adalah bangsa kafir, jauh dari keluarganya
Apabila aku berhadapan dengan mereka aku harus membunuhnya
Ja’far berkeliling di barisan musuh dengan menghunus pedangnya, hingga tangan kanannya terkena sabetan pedang hingga tangan kanannya putus. Lalu Ja’far membawa panji perang dengan tangan kirinya. Tidak berselang lama tangan kirnya juga mendapatkan sabetan pedang hingga putus. Ja’far membawa panji perang itu dengan dada dan kedua lengannya. Tidak lama berselang Ja’far tertimpa pukulan pedang yang ketiga hingga membelah tubuhnya menjadi dua. Akhirnya Abdullah bin Rawahah mengambil panji perang tersebut dari Ja’far. Abdullah bin Rawahah terus berperang hingga mendapatkan syahid.
Berita terbunuhnya tiga panglima Rasulullah sampai di telinga beliau. Rasulullah sangat sedih sekali. Seketika itu juga beliau pergi ke rumah sepupunya, Ja’far bin Abi Thalib dan mendapati istrinya, Asma’ bersiap-siap menanti kehadiran suaminya yang pergi.
Asma’ sudah membuatkan adonan kue untuk Ja’far dan juga sudah memandikan anak-anaknya, memberikan wangi-wangian dan memakaikan mereka pakaian yang paling baik.
Asma’ berkata, “Ketika Rasulullah Saw. menemui kami raut muka kesedihan menggelayuti wajah beliau yang mulia. Kecemasan hinggap dalam diriku. Hanya saja aku tidak mau bertanya kepada beliau mengenai Ja’far bin Abi Thalib karena takut jika aku mendengar berita yang tidak aku inginkan dari beliau.”
Lalu Rasulullah mengucapkan salam pada kami dan berkata, “Panggillah anak-anak Ja’far agar menghadapku!” Akupun memanggil mereka agar bertemu Rasulullah.
Mereka berlarian gembira dan menggeram. Mereka mengerubuti beliau. Semuanya ingin dekat dengan beliau. Lalu Rasulullah merangkul mereka dan mencium mereka. Dan kedua matanya mengeluarkan air mata yang terus menetes dari matanya.
Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, apa yang membuatmu menangis? Apakah engkau mendengar berita mengenai Ja’far dan kedua sahabatnya?” Beliau menjawab…..beliau menjawab, “Iya, sungguh mereka bertiga mati syahid pada hari ini juga.”
Mendengar perkataan Rasulullah, sirnalah senyum yang menghiasi wajah-wajah kecil anakku, apalagi ketika ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka berdiri tegak di tempat mereka. Mereka tidak bergerak sedikitpun, seakan-akan di atas mereka ada burung yang hinggap.
Sedangkan Rasulullah pergi dengan mengusap air mata yang menetes dari matanya. Beliau berdoa, “Ya Allah, berilah ganti dari Ja’far kepada anak-anaknya…. Ya Allah, berilah ganti dari Ja’far kepada keluarganya…” Lalu Rasulullah kembali bersabda, “Sungguh aku melihat Ja’far berada di surga, dia memiliki dua sayap yang berlumuran darah. @@@.”

[1] Khaibar adalah benteng kaum Yahudi, Rasulullah menaklukkannya pada tahun 7 H. beliau juga mendapat rampasan perang yang sangat banyak.

0 komentar:

Posting Komentar