Rabu, 16 November 2011

Metode Qur’ani Dalam Tafsir Al Qur’an!

0 komentar

Metode Qur’ani Dalam Tafsir Al Qur’an!

Al Qur’an adalah kitab suci terakhir yang Allah turunkan untuk umat manusia. Ia diturunkan dengan bahasa dan dikemas dengan susunan yang indah. Sejak awal penurunanya Al Qur’an telah mendapat sambutan hangat dari kaum Muslim dan mengundang perhatian dan keingin-tahuan tentangnya dan tentang makna yang terkandung di dalamnya.
Allah SWT telah berjanji akan memberikan penjelasan atas firman yang Ia turunkan. Dan Dia juga mempercayakan Nabi-Nya untuk menjadi penafsir utama Al Qur’an. Allah SWT berfirman:

فَإِذا قَرَأْناهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ * ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنا بَيانَهُ.

Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.* Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya. (QS. Al Qiyamah;18-19)
.

وَ أَنْزَلْنا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ ما نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ.

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl;44 )
.
Karenanya tafsir Nabi saw. adalah tafsir yang tidak boleh diabaikan dan harus diutamakan! Ia adalah rujukan utama dan pertama dalam memahami tafsir ayat-ayat Al Qur’an disamping berujuk kepada Al Qur’an sendiri. Sebab ayat-ayat Al Qur’an itu saling mnjelaskan dan saling membenarkan! Nabi saw. bersabda:
.

إنما نزل يُصَدِّقُ بعَضُه بعَضًا

“Sesungguhnya Al Qur’an itu turun untuk saling membenarkan.”[1]
.
Allah SWT Memerintah Umat Manusia Agar Merenungkan Ayat-ayat Al Qur’an!
Tadabbur terhadap ayat-ayat Al Qur’an dengan mengindahkan syarat-syarat yang diperlukan adalah metode tafsir ideal. Allah SWT berfirman:
.

أَ فَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَ لَوْ كانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فيهِ اخْتِلافاً كَثيراً.

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisâ’;82)
.
Tentang ayat di atas, Ibnu katsir berkata, “Allah berfirman memerintah mereka untuk tadabbur, merenungkan Al Qur’an dan melarang dari berpaling darinya dan dari mencari faham tentang makna-maknanya yang kokoh dan teks-teksnya yang balighah. Allah mengabarkan bahwa tiada di dalamnya perselisihan dan kekacauan, tiada juga terdapat pertentangan, sebab ia turun dari Dzat Yang Maha Bijak dan Maha Terpuji. Ia adalah haq dari Dzat Yang Maha Haq… .”[2]
Perintah itu berlaku untuk semua dan di segala waktu. Ia tidak terbatas untuk generasi tertentu. Sebagaimana perintah itu butki kuat bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat direnungkan dan dapat dimengerti dan difahami maknanya. Sebab andai tidak, maka sis-sialah perintah untuk bertadabbur itu!
Dan pemahaman itu bukanlah monopoli generasi tertentu! Dan tafsir produk para pendahulu tidak aula bit tibâ’/lebih berhak diikuti disbanding tafsir generasi lanjutan… bahkan bisa jadi tafsir generasi penerus lebih matang dan lebih mirip dengan kebenaran dan apa yang menjadi maksud Sang Pemfirmannya. Sebab yang menjadi i’tibâr/pengandalan adalah kesesuaiannya atau paling tidak kedekatanya dengan kebenaran dan bukan keklasikan pengucapnya!
.
Nilai tafsir Salaf!
Karenanya, tidak ada keharusan memasung kecerdasan pemahaman seorang mufassir dengan pasung tafsir Salaf terdahulu. Sebab selain tidak ada dalil yang mengharuskan kita memasung diri dengan tafsir Salaf, ia akan mematikan keagungan Al Qur’an sebelum ia mematikan kreatifitas para mufassir! Karena Al Qur’an untuk semua generasi dan dia akan selalu tampil baru dan segar!
Burhânuddîn az Zarkasyi dalam al Burhan-nya menukil keterangan tentang keharusan berujuk kepada tafsir Tabi’în, di antaranya ia berkata, “Dan dalam berujuk kepada tafsir seorang tabi’i telah diriwayatkan dua riwayat (penukilan pendapat) dari Ahmad. Ibnu ‘Aqîl memilih menolak. Dan mereka menukilnya juga dari Syu’bah. … [3]
Tentunya, jangan disalah-fahami bahwa kita tidak perlu menghiraukan tafsir Salaf. Akan tetapi, kita tidak boleh terpasung oleh tafsir Salaf dan atau menjadikannya sebagai hujjah yang wajib diikuti! Ibnu Taimiyah berkata, “Syu’bah bin Hajjâj dan selainnya berkata, “Ucapan-ucapan (pendapat-pendapat) para Tâbi’în bukanlah hujjah, lalu bagaimana ia dapat dijadikan hujjah dalam tafsir?! Ustadz Adz Dzahabi berkata, “Dan kami condong berpendapat bahwa mengambil ucapan para Tâbi’în dalam tafsir tidaklah wajib, kecuali jika pada masalah-masalahyang tiada ruang bagi pendapat, ia dapat diambil ketika tidak ada keraguan padanya.”[4]
Dasar Keberagamaan Yang Salah!
Sebagian orang memasung diri dengan hanya membatasi pamahamannya terhadap ayat-ayat Al Qur’an hanya pada pemahaman Salaf… . Slogan mereka mengatakan, “Berujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman Salaf!” Ini adalah metode yang salah dalam mendasarkan keberagamaan.
Dalam memahami ayat-ayat tentang Tauhid, baik tauhid sifat maupun maalah-masalah terkait lainnya, misalnya mereka pasti akan dihadapkan dengan tumpukan ucapan Salaf yang saling kontradiksi satu dengan lainnya. Bahkan tidak jarang pula terdapat perbedaan penukila dari seorang dari Salaf! Dalam kondisi seperti ini, bagi yang memasung diri hanya dengan pemahaman Salaf pasti akan kesulitan… Dan pada akhirnya mereka mungkin terpaksa melakukan uji kualitas, mana di antara ucapan Salaf itu yang benar untuk diambil dan itu artinya, ucapan Salaf yang lainnya akan dicampakkan dan dibuang ke tong sampah yang menampung limbah-limbah aqwâl Salaf! Itu artinya pula bahwa konsep yang mengatakan harus berujuk kepada Salaf adalah sesuatu yang sulit atau bisa jadi mustahil dipraktikkan! Sebagaimana kenyataan itu membuktikan bahwa para Salaf pun bertingkat-tingkat kualitas intelektualnya.
.
Kaum Pembid’ah Sulit Obyektif Dalam Mengikuti Salaf Shaleh!
Orang yang hanya mencari pembenaran atas nama Salaf akan sangat mudah melupakan Salaf kebanggaannya apabila ternyata ia menyelisihi akidah yang telah diadopsinya.
Seorang yang selama ini membanggakan seorang mufassir Salaf bernama Mujahid misalnya, dia tidak akan segan-segan melupakan dan mencampakkan sang Salaf andalannya itu ketika ternyata ia terbukti menafsirkan ayat 23 surah al Qiyamah dengan tafsiran yang merugikan doktrin lamanya.
Tentang tafsir ayat tersebut, telah diriwayatkan dari Mujahid dengan sanad bersambung melalui beberapa jalur bahwa ia menafsirkannya dengan menanti pahala Tuhan, bukan melihat Tuhan, seperti yang selama ini difahami ulama:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ ناضِرَةٌ * إِلى‏ رَبِّها ناظِرَةٌ.

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Terhadap (pahala) Tuhannyalah mereka menanti.
Ath Thabari berkata:

وقال آخرون: بل معنى ذلك: أنها تنتظر الثواب من ربها.

“Dan sebagian berpendapat: Akan makna ayat itu adalah, ‘Mereka menanti pahala dari Tuhan mereka.’”
Kemudian ath Thabari merangkum tafsir Mujahid tersebut melalui jalur:

حدثنا أبو كُرَيب، قال: ثنا عمر بن عبيد، عن منصور، عن مجاهد ( وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر منه الثواب.

قال: ثنا وكيع، عن سفيان، عن منصور، عن مجاهد ( إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر الثواب من ربها.

حدثنا ابن بشار، قال: ثنا عبد الرحمن، قال: ثنا سفيان، عن منصور، عن مجاهد ( إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر الثواب.

حدثنا ابن حميد، قال: ثنا مهران، عن سفيان، عن منصور عن مجاهد ( إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر الثواب من ربها، لا يراه من خلقه شيء.

حدثني يحيى بن إبراهيم المسعودي، قال: ثنا أبي، عن أبيه، عن جدّه، عن الأعمش، عن مجاهد ( وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ ) قال: نضرة من النعيم ( إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر رزقه وفضله.

حدثنا ابن حميد، قال: ثنا جرير، عن منصور، عن مجاهد، قال: كان أناس يقولون في حديث: « فيرون ربهم » فقلت لمجاهد: إن ناسا يقولون إنه يرى، قال: يَرى ولا يراه شيء.

قال ثنا جرير، عن منصور، عن مجاهد، في قوله: ( إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر من ربها ما أمر لها.

حدثني أبو الخطاب الحساني، قال: ثنا مالك، عن سفيان، قال: ثنا إسماعيل بن أبي خالد، عن أبي صالح، في قوله: ( وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر الثواب.

1)      Dari Abu Kuraib, ia berkata, Umar ibn Ubaid menyampaikan kepada kami, dari Manshur dari Mujahid, “Menanti pahala dari-Nya.”
2)      Ia berkata, Wakî’ menyampaikan kepada kami dari Sufyan dari Manshûr dari Mujahid, “Menanti pahala dari Tuhannya.”
3)      Ibnu Basysyâr menyampaikan kepada kami, ia berkata, Abdurrahman menyampaikan kepada kami, ia berkata, Sufyan menyampaikan kepada kami dari Manshûr dari Mujahid, “Menanti pahala.”
4)      Ibnu Humaid menyampaikan kepada kami, ia berkata, Mahrân menyampaikan kepada kami dari Sufyan dari Manshûr dari Mujahid., ia berkata, ‘Mereka menanti pahala dari Tuhan mereka. Tiada akan melihat-Nya sesuatu apapun dari ciptaan-Nya.!’
5)      Yahya bin Ibrahim al Mas’ûdi menyampaikan kepada kami, ia berkata, ayahku menyampaikan kepada kami dari ayahnya dari kakeknya dari A’masy dari Mujahid, “Menanti rizki dan anugerah-Nya.”
6) Ibnu Hamîd menyampaikan kepada kami, ia berkata Jarîr menyampaikan kepada kami dari Manshur dari Mujahid, ia berkata, “Ada banyak orang berkata tentang hadis, ‘Mereka akan melihat Tuhan mereka.’ Maka aku berkata kepada Mujahid berkata, ‘Orang-orang berkata Dia akan dilihat!’ Mujahid berkata,Dia Maha Melihat dan tidak dapat dilihat oleh sesuatu apapun.
7)      Jarîr menyampaikan kepada kami dari Manshur dari Mujahid ia berkata, “Mereka menanti dari Tuhan mereka apa yang  Dia perintahkan.”[5]
Bagi mereka yang selama ini mengkultus Salaf dan memasung diri hanya dengan menelan mentah-mentah apa yang dikatakan Salaf tentang ayat tertentu pasti berusaha keluar dari jeratan problem seperti ini… . Tetapi bagi yang punya keterbukaan dan tidak memandang tafsir Salaf sebagai hujjah, pasti ia akan kembali kepada metode tadabbur/perenungan ayat dan tidak akan menerima atau menolak tafsir Salaf kecuali atas dasar bukti… bukan atas dasar ucapan Salaf itu sendiri!

Tidak Semua Ayat Al Qur’an Telah Ditafsirkan Oleh Salaf
Masalah lain yang akan menghadang mereka yang mengebiri kreatifitasnya dalam memahami tafsir Al Qur’an adalah bahwa ternyata tidak semua ayat Al Qur’an tu telah ditafsirkan oleh generasi Salaf baik sahabat mapun tabi’în. Bahkan seperti yang kita ketahui bahwa Nabi saw. pun tidak menafsirkan seluruh ayat Al Qur’an. Atau paling tidak berdasarkan riwayat yang ada di tangan para ulama, ternyata banyak ayat yang terlewatkan tidak ada riwayat tafsir Nabi saw.!
Sumber Pengambilan Salaf Dalam Tafsir
Bagi Anda yang mengetahui sumber pengambilan Salaf dalam memahami dan menafsirkan Al Qur’an pasti ia tidak akan terjebak dalam kungkungan tafsir Salaf! Ustadz adz Dzahabi dalam kitabnya at Tafsîr wal al Mufassirûn menyebut empat sumber tafsir Salaf generasi awal; para sahabat:
(1)   Al Qur’an itu sendiri.
(2)   Nabi saw.
(3)   Ijtihad dan istimbâth/penyimpulan. Ketika mereka tidak menemukan keterangan tentang sebuah ayat dari Al Qur’an atau kesulitan mendapatkan keterangan dari Sunnah Nabi saw., mereka kembali kepada ijtihad dan menggunakan pikiran untuk menyimpulkan pendapat.
(4)   Pendapat Ahlul Kitab; Yahudi dan Nashrani.[6]
(5)   Dan di sini dapat ditambahkan sumber kelima yaitu Bahasa Arab melalui syair-syair orang-orang Arab, seperti yang banyak dilakukan oleh Ibnu Abbas ra. Sebab syair-syair bangsa Arab adalah bagaikan kamus yang merangkum kata-kata yang asing didengar oleh kebanyakan orang sekali pun. Sayyidina Umar ra. berkata, “Hendaknya kalian memperhatikan diwân kalian  agar kalian tidak tersesat!” Mereka berkata, ‘Apa yang Anda maksud dengan diwân kami? Ia menjawab, “Syair-syair bangsa Arab masa jahiliyah. Di dalamnya terdapat tafsir Kitab suci kalian dan makna pembicaraan kalian.[7]
Adapun Salaf generasi tabi’în maka pengambilan mereka dalam tafsir dapat kita rangkum sebagai di bawah ini:
(1)   Berujuk kepada Al Qur’an.
(2)   Mengindahkan tafsir Nabi saw dan keterangan para Sahabat yang sampai kepada mereka.
(3)   Memperhatikan asbâb nuzûl dan kasus-kasus yang karenanya ayat itu diturunkan.
(4)   Berujuk kepada bahasa Arab, khususnya yang diabadikan dalam syair-syair mereka. Ibnu Abbas ra. menganjurkan para muridnya untuk memperhatikan dan merujuk syair-syair Arab untuk mengenali arti kata dalam ayat Al Qur’an.[8]
(5)   Mengandalkan ra’yu dan ijtihad melalui perenungan dan penyimpulan. Dalam arti mereka menafsirkan tanpa berujuk kepada tafsir Nabi saw. atau seorang dari sahabat pun. Dengan bertadabbur dan memerhatikan segala yang meliputi ayat yang hendak ia tafsirkan.
(6)   Merujuk peninggalan Ahlul Kitab; Yahudi dan Nashrani (Perjanjian lama dan Perjanjian Baru).
Setelah ini pasti Anda maklum bahwa tidaklah benar anggapan bahwa seorang mufassir harus memasung pemahamanannya dan membatasi diri dengan menjadikan tafsir Salaf sebagai hujjah yang tidak boleh keluar darinya! Sehingga apapun yang dipahami oleh seorang mufassir betapapun hebat dan luasnya ilmu yang ia miliki sebagai tafsir Khalafi yang konotasinya adalah bid’ah… mengada-ngada… tidak memiliki Salaf… dan akhirnya dicap tafsir liar! Sebab apapun yang tidak diambil dari Salaf pasti ia dihukumi liar!!
Ar Râghib al Ishfahâni berkata menjelaskan ruang lingkup seorang mufassir, “Manusia telah berbeda pendapat tentang tafsir al Qur’an, apakah ia boleh bagi setiap orang untuk menjeburkan diri di dalamnya? Sebagian orang berkeras sikap dan berkata, ‘Tidak boleh bagi seorang menafsirkan al Qur’an walaupun ia seorang yang alim/pandai, sastrawan Arab, luas pengetahuannya tentang dalil-dalil fikih, nahwu (tata bahasa Arab), akhbâr/berita dan atsâr/data-data yang dinukil. Yang boleh baginya hanyalah menyampaikan apa yang telah sampai kepadanya dari riwayat Nabi saw. dan dari orang-orang yang menyaksikan turunnya al Qur’an yaitu para sahabat dan orang-orang yang menimba ilmu dari para sahabat yaitu tabi’în…. Dan yang lainnnya mengatakan, ‘barang siapa yang mendalami satra Arab maka boleh baginya menafsirkan Al Qur’an. Orang-orang berakal dan para sastrawan…
Kedua pendapat di atas adalah ghuluw (berkeras-keras) dan tafrîth (teledor). Barang siapa membatasi diri dengan apa yang dinukil maka ia benar-benar meninggalkan banyak hal yang ia butuhkan. Dan barang siapa membolehkan siapa saja menafsirkan Al Qur’an maka ia telah menjadikannya sasaran kekacauan dan tidak mengindahkan firman-Nya:
.

كِتابٌ أَنْزَلْناهُ إِلَيْكَ مُبارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آياتِهِ وَ لِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الْأَلْبابِ.

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat- ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang- orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad;29).[9] Setelahnya ia menjelaskan sepuluh syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir.
Bukti Nyata!
Bukti nyata adalah bahwa para ulama islam di sepanjang zaman melibatkan diri dalam tafsir Al Qur’an dan tidak membatasi diri hanya terpaku dengan tafsir yang dima’tsurkan dari Salaf dengan segala hormat kita semua kepada Salaf!
Karenanya, ucapan seorang yang mengaku Salafi, “Tunjukkan siapa Salaf kamu dalam pemahaman ayat ini atau itu?!” “Tafsir kamu adalah tafsir Khalafi.. tafsir bid’ah dll. adalah ucapan seorang santri abangan yang terkesan awam tapi sok Salafi… terkenal dangkal tapi sok peneliti… dan akhirnya mengundang keprihatinan mendalam bagi para ulama muhaqqiqûn!
Semoga Allah SWT senantiasa berkenan membimibng kita semua ke jalan-Nya. Amîn.

[1] Tafsir Ibn Katsir,1/529.
[2] Ibid.
[3] Al Burhan Fî ‘Ulûmil Qur’ân,2/158.
[4] At Tafsîr wal al Mufassirûn,1/128-129 rujuk juga Muqaddimah Ushul at Tafsîr; Ibnu Taimiyah:28-29, Fawâtih ar Rahamût,2/188 dan al Itqân,2/179..
[5] Tafsir ath Thabari,29/192-193. Setelah menyebutkan perbedaan ahli ta’wil tentang ayat di atas dan setelah merangkum tafsir Mujahid, Ibnu Jarîr ath Thabari menimbang dan kemudian memutuskan menolak tafsir Mujahid!
[6]Keterangan lengkap dipersilahkan merujuk ke at Tafsîr wal al Mufassirûn,1/36-62.
[7] at Tafsîr wal al Mufassirûn,1/74.
[8] Ibid.
[9] Mukaddimah Fi at Tafsîr:93.

http://abusalafy.wordpress.com/2011/01/17/metode-qur%E2%80%99ani-dalam-tafsir-al-qur%E2%80%99an/

Benarkan Kaum Musyrik Arab Beriman Kepada Tauhid Rububiyyah Allah? – Bantahan Untuk Ustad Firanda

0 komentar

Benarkan Kaum Musyrik Arab Beriman Kepada Tauhid Rububiyyah Allah? – Bantahan Untuk Ustad Firanda

Bukti-bukti Lain Bahwa Kaum Musyrik Arab Juga Menyekutukan Allah Dalam Tauhid Rububiyyah Allah
Kaum Musyrik Menyamakan Sesembahan Mereka Dengan Allah dalam Rubûbiyyah
Di antara ayat-ayat yang menjelaskan keyakinan kaum Musyrik Arab terhadap âlihah yang mereka sembah di dunia adalah ayat-ayat yang menjelaskan bahwa mereka itu menyamakan tuhan-tuhan mereka dengan Allah SWT dalam kekuasaan dalam memberikan pengaruh, baik kebaikan maupun keburukan. Keyakinan syirik itu kelak yang akan mereka sesali di saat mereka bersama sesembahan-sesembahan mereka ditelungkupkan ke dalam api neraka. Di saat itu mereka menyadari kesesatan yang mereka yakini selama dalam kehidupan dunia. Allah SWT mengisahkan penyesalan mereka atas akidah syirik yang menyamakan sesembahan-sesembahan mereka dengan Allah SWT dalam  surah asy Syua’râ’ ayat 91-98:

وَ بُرِّزَتِ الْجَحيمُ لِلْغاوينَ * وَ قيلَ لَهُمْ أَيْنَ ما كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ * مِنْ دُونِ اللَّهِ هَلْ يَنْصُرُونَكُمْ أَوْ يَنْتَصِرُونَ * فَكُبْكِبُوا فيها هُمْ وَ الْغاوُونَ * وَ جُنُودُ إِبْليسَ أَجْمَعُونَ * قالُوا وَ هُمْ فيها يَخْتَصِمُونَ * تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفي‏ ضَلالٍ مُبينٍ * إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعالَمينَ .

“dan diperlihatkan dengan jelas neraka Jahim kepada orang-orang yang sesat”,* dan dikatakan kepada mereka:” Di manakah sesembahan-sesembahan yang dahulu kamu selalu menyembah (nya).* selain Allah? Dapatkah mereka menolong kamu atau menolong diri mereka sendiri”* Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang sesat, * dan bala tentara iblis semuanya.* Mereka berkata sedang mereka bertengkar di dalam neraka *  demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata,* karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam.” (QS. Asy Syua’râ’91-98)
.
Keterangan Para Ahli Tafsir
Dari ayat-ayat di atas terlihat jelas sekali bagaimana sebenarnya keyakinan kaum Musyrik Arab terhadap sesembahan-sesembahan yang mereka sembah di dunia.  Mereka menyamakannya dengan Allah SWT. demikian para mufassir seperti Imam ath Thabari, al Baghawi, asy Syaukani dll. menafsirkan.
Coba perhatikan keterangan mereka tentang ayat-ayat di atas!

وَ قيلَ لَهُمْ أَيْنَ ما كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ * مِنْ دُونِ اللَّهِ هَلْ يَنْصُرُونَكُمْ أَوْ يَنْتَصِرُونَ *

dan dikatakan kepada mereka:” Di manakah sesembahan-sesembahan yang dahulu kamu selalu menyembah (nya).* selain Allah? Dapatkah mereka menolong kamu atau menolong diri mereka sendiri”*
Imam Ibnu Jarîr ath Thabari menafsirkan demikian:

وقيل لِلْغَاوِينَ ( أَيْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ ) من الأنداد ( هَلْ يَنْصُرُونَكُمْ ) اليوم من الله, فينقذونكم من عذابه ( أَوْ يَنْتَصِرُونَ ) لأنفسهم, فينجونها مما يُرَاد بها؟.

dan dikatakan kepada mereka (orang-orang yang sesat itu): “Di manakah sesembahan-sesembahan yang dahulu kamu selalu menyembah (nya).* selain Allah? (yaitu sekutu-sekutu/andâd)[1] Dapatkah mereka menolong kamu (pada hari ini dari Allah, lalu ia menyelamatkan kamu dari siksa-Nya) atau menolong diri mereka sendiri” (lalu mereka menyemalatkan diri mereka dari apa yang dimaukan darinya?)

فَكُبْكِبُوا فيها هُمْ وَ الْغاوُونَ

Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang sesat.”
Tentang ayat di atas, Imam ath Thabari menukil dari Ibnu Zaid melalui Yunus dari Ibnu Wahb, ia berkata, Ibnu Zaid berkata tentang firman di atas:

حدثني يونس, قال: أخبرنا ابن وهب, قال: قال ابن زيد, فى قوله: ( فَكُبْكِبُوا فِيهَا ) قال: طرحوا فيها. فتأويل الكلام: فكبكب هؤلاء الأنداد التي كانت تعبد من دون الله في الجحيم والغاوون.

“Mereka dilemparkan ke dalam nereka Jahîm. Ta’wil firman itu adalah: Mereka; sekutu-sekutu/andâd yang dahulu disembah selain Allah dilemparkan ke dalam neraka jahîm bersama orang-orang yang sesat.”
.

قالُوا وَ هُمْ فيها يَخْتَصِمُونَ * تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفي‏ ضَلالٍ مُبينٍ * إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعالَمينَ .

“Mereka berkata sedang mereka bertengkar di dalam neraka *  demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata,* karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam.”
Imam ath Thabari berkata menafsirkan:

يقول تعالى ذكره: قال هؤلاء الغاوون والأنداد التي كانوا يعبدونها من دون الله وجنود إبليس, وهم في الجحيم يختصمون. ( تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ ) يقول: تالله لقد كنا في ذهاب عن الحقّ, إن كنا لفي ضلال مبين, يبين ذهابنا ذلك عنه عن نفسه, لمن تأمله وتدبره, أنه ضلال وباطل. وقوله: ( إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ ) يقول الغاوون للذين يعبدونهم من دون الله: تالله إن كنا لفي ذهاب عن الحقّ حين نعدلكم برب العالمين فنعبدكم من دونه.

وبنحو الذي قلنا في ذلك قال أهل التأويل.

“Mereka; orang-orang yang sesat itu dan andâd yang dahulu mereka sembah selain Allah dan juga bala tentara Iblis berkata sedang bertengkar di dalam neraka jahîm, ‘demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata’ ia berfirman, ‘Demi Allah kami benar-benar menjauh dari kebenaran, dan kami berada dalam kesesatan yang nyata…. karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam. Orang-orang yang sesat itu berkata kepada sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, ‘Demi Allah kami benar-benar dalam penyimpangan dari kebenaran ketika kami menyamakan kalian dengan Rabbul ‘Âlamîn lalu kami sembah kalian di samping Allah.”
Dan seperti yang kami katakan ini berpendapat ahli tafsir. …

حدثني يونس, قال: أخبرنا ابن وهب, قال: قال ابن زيد, في قوله: ( إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ ) قال: لتلك الآلهة.

Yunus menyampaikan kepadaku, ia berkata, Ibnu Wahb menyampaikan kepada kami, ia berkata, Ibnu Zaid berkata, tentang ayat: “karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam. Mereka berkata kepada âlihah/tuhan-tuhan itu.”[2]
Asy Syaukani berkata menafsirkan:

فَكُبْكِبُوا فيها هُمْ وَ الْغاوُونَ

Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang sesat.”
“Mereka dilempar ke dalam nereka Jahîm. Kata ganti orang ketiga: hum/mereka adalah sesemhaban dan al Ghâwûn/orang-orang yang sesat adalah para penyembah mereka.
… Dan ada yang berkata, ‘hum/mereka’ adalah  kaum kafir Quraisy dan al Ghâwûn adalah âlihah/tuhan-tuhan sesembahan mereka.”[3]
.
Abu Salafy berkata:
Pengakuan kaum Musyrik dalam persengketaan antara mereka dengan sesembahan-sesembahan mereka di dalam neraka Jahîm yang direkam Allah dalam ayat tersebut yang menyamakan mereka dengan Allah SWT adalah bukti kuat bahwa kamu Musyrik Arab itu menyamakan Allah dalam kekuasaan yang mereka miliki secara mandiri/independen. Sebagaimana Allah mengatur alam semesta, demikian juga mereka meyakini bahwa sesembahan mereka memiliki kekuasaan itu secara independen pula. Sebab jika tidak, maka itu artinya mereka tidak menyamakannya dengan Allah SWT. padahal kaum Musyrik itu mengakui bahwa mereka menyamakannya dengan Allah SWT.!
Kenyataan itu akan makin jelas dengan memerhatikan ayat di bawah ini.
Ayat Lain!
Allah SWT berfirman:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذي خَلَقَ السَّماواتِ وَ الْأَرْضَ وَ جَعَلَ الظُّلُماتِ وَ النُّورَ ثُمَّ الَّذينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ

“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun kemudian orang-orang yang kafir menyamakan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.” (QS. Al An’âm;1)
.
Kata: يَعْدِلُونَ menjadikan sesuatu lain adîlan bagi Allah. Kata adîlan seperti diterangkan para ahli bahasa dan juga ditegaskan para mufassir adalah sesuatu yang disamakan dengan sesuatu lain. Asal kata al ‘adl adalah penyamaan seatau dengan sesuatu lain. Jadi makna ayat tersebut: “Kemudian, setelah penjelasan bahwa Allah lah Dzat yang menciptakan langit dan bumi, menjadikan gelap dan cahaya, orang-orang yang kafir itu menyamakan sesuatu lain dengan Allah. Yaitu mereka menyamakan sesembahan-sesembahan mereka itu dengan Allah Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur alam!
Jadi, walaupun boleh jadi mereka mengakui Allah pencipta alam, namun mereka (kaum Musyrik Arab) menyamakan selain Allah dengan Allah dalam pengaturan alam/Rubûbiyyah. Dan inilah yang dinamakan memusyrikkan Allah dengan selain-Nya!
Ibnu Jarîr, Ibnu Abi Hâtim dan para mufassir lain menukil Ibnu Zaid sebagai menafsirkan:
‘namun kemudian orang-orang yang kafir menyamakan (sesuatu) dengan Tuhan mereka’ yaitu âlihah yang mereka sembah. Mereka menyamakannya dengan Allah- Ta’ala-. Padahal Alllah tidak mempunyai tandingan, padanan, dan tiada bersama-Nya âlihah, dan Dia tidak menjadikan istri dan anak.”[4]

Kata Andâd Memperjelas Bukti Kemusyrikan Bangsa Arab Terhadap Rubûbiyyah Allah
Makna kata adîlan dan idlan yang darinya kata kerja يَعْدِلُونَ diambil akan lebih jelas apabila kita libatkan ayat-ayat yang menyebutkan bahwa kaum Musyrik Arab itu menjadikan sesembahan-sesembahan mereka itu sebagai andâd! Seperti dalam banyak ayat di antaranya:

فَلاَ تَجْعَلُوْا ِللهِ أَندَاداً وَ أَنتُمْ تَعْلَمُوْنَ.

Oleh karena itu, janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui (bahwa tidak satupun dari para sekutu itu yang menciptakanmu dan memberikan rezeki kepadamu).” (QS. al Baqarah;22)

وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدَاداً

Dan ada sebagian manusia yang memilih sekutu-sekutu selain Allah… “ (QS. al Baqarah;165)

وَ جَعَلُوا لِلَّهِ أَنْداداً لِيُضِلُّوا عَنْ سَبيلِهِ قُلْ تَمَتَّعُوا فَإِنَّ مَصيرَكُمْ إِلَى النَّارِ.

Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah:” Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka.”(QS. Ibrahim;30)
Kata niddun (bentuk tunggal kata andâd) adalah sebuah kata yang penting dan berulang kali disebutkan dalam Al Qur’an ketika mengecam kemusyrikan kaum Musyrik Arab. Kata itu dipakai untuk menunjuk makna serupa dengan kata syarîk/sekutu bagi Allah seperti klaim mereka!
Di antara makna kata niddun adalah:
1)      Apa-apa yang menyerupai dan melawan sesuatu lain dalam urusannya. Kata nadîdun dan niddun artinya sama. Bentuk jamaknya andâd. Demikian diterangkan oleh al Farâhidi dalam kitab al ‘Ain,8/10.
2)      Niddun adalah sama dengan mitslun. Dan kata itu dipakai untuk menunjukkan serupa yang melawan, diambil dari kata: nâdadtuhu, artinya: khâlaftuhu/aku menentangnya. Demikian diterangkan oleh Abu Hilâl al ‘Askari dalam kitab Fuûq Lughawiyah-nya:535 kata dengan nomer 2154.
3)      Nuddun adalah matsîl dan nadzîr (yang serupa). Demikian diterangkan dalam kamus Tâjul ‘Arûs,2/405.
Dari keterangan ahli bahasa di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang difahami dari kata niddun adalah makna yang serupa dan terkadang diartikan yang menentang.
Dalam arti pertama (yang disepakati antara para ahli bahasa Arab) kata itu akan menjadi jelas bahwa kaum Musyrik Arab itu menjadikan sesembahan-sesembahan mereka sebagai yang serupa dengan Allah SWT.
Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya menulis sebuah bab dengan judul: Oleh karena itu, janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah.
Ibnu Hajar dalam syarah Shahih Bukhari menukil keterangan Ibnu Baththâl dan al Kirmani sebagai mengatakan: “Maksud (Imam) Bukhari dalam bab ini adalah menetapkan penisbatan seluruh amal perbuatan kepada Allah, baik yang dikerjakan makhluk itu baik ataupun keburukan. Semuanya adalah ciptaan Allah dan hamba hanya memiliki kasb saja. Tidak dinisbatkan ciptaan apapun kepada selain Allah, sebab jika dinisbatkan kepada selain-Nya maka ia akan menjadi syarîk dan niddan yang menyamai Allah dalam penisbatan amal perbuatan.
Al Kirmani berkata, “Judul bab ini mengesankan bahwa yang dimaksud adalah penetapan tidak adanya sekutu bagi Allah, maka pantasnya ia diletakkan di awal-awal bab Tauhid. Tetapi bukan itu yang dimaksud di sini, namun yang dimaksud adalah bahwa seluruh amal perbuatan hamba adalah ciptaan Allah, sebab jika amal mereka itu adalah ciptaan mereka sendiri niscaya mereka itu andâd bagi Allah dan sekutu-Nya dalam penciptaan… .”[5]
Abu Salafy berkata:
Yang ingin saya katakan di sini adalah pemahaman Ibnu Baththâl dan Imam al Kirmâni bahwa kata niddun tidak akan tepat makna kecuali jika dinisbatkan kepadanya penciptaan, sebab dengan demikian ia (niddun) itu menjadi syarîk/sekutu Allah, seperti dalam akidah kaum Musyrik Arab yang batil itu!
Jadi jika kita mengandalkan makna bahasa dari kata tersebut maka kita mesti mengatakan bahwa kata itu menunjuk kepada arti kata syarîk yang menyamai Allah dalam kekuasaannya secara independen dan mandiri. Karenanya ia berhak disebut niddun!
Wallahu A’lam.

http://abusalafy.wordpress.com/2011/01/29/benarkan-kaum-musyrik-arab-beriman-kepada-tauhid-rububiyyah-a