Rabu, 14 Desember 2011

solusi hukum wanita Islam

0 komentar
Dalam pandangan Islam wanita tidak seperti laki-laki bahkan bila kita teliti dengan seksama, banyak memiliki perbedaan, sehingga dalam hal-hal tertentu Islam memberi solusi hukum secara berbeda. Maka sangat wajar bila para ulama membuat tulisan secara khusus tentang wanita dan problematika kewanitaan yang terkadang sulit untuk mendapatkan jawaban secara tuntas, lugas dan jelas. Sangat langka untuk mendapatkan buku yang memuat fatwa-fatwa para ulama kontemporer yang bermanhaj salaf seperti Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh, Syaikh Abdurrahman as-Sa'di, Syaikh Abdul Aziz Abdurrahman al-jibrin dan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, yang menjelaskan berbagai permasalahan fikih kewanitaan dari mulai thaharah, shalat, puasa, zakat, haji, pernikahan, talak, hukum-hukum muamalah dan hukum-hukum jinayat serta hukum lain yang secara khusus bersinggungan dengan dunia wanita. Dan lebih nadir lagi fatwa-fatwa tersebut digali dari berbagai macam buku, majalah, kaset dan ceramah lalu dibukukan setelah melalui proses penyaringan secara teliti dan akurat sehingga pembaca tinggal mendapatkan sari dari fatwa-fatwa para ulama. Dan buku ini semakin menarik ketika pembahasan dan penggunaan bahasa fikih disesuaikan dengan kondisi zaman sekarang. Para pembaca akan mendapatkan solusi tuntas dan berbobot dalam masalah hukum-hukum fikih sehingga mampu menjalankan agama secara benar berdasarkan ilmu dan petunjuk yang benar. Seorang muslim setelah mampu berbuat ikhlas dalam beribadah, maka dituntut untuk benar dalam beribadah, sebab beribadah atau beramal tanpa dasar ilmu dan petunjuk yang benar dan keikhlasan, pasti akan merugi dan hanya melakukan perbuatan sia-sia. Buku ini sangat relevan dan tidak diragukan kandungan dan materi pembahasannya untuk dunia wanita saat sekarang apalagi sosok para ulama yang menjadi nara sumber fatwa sudah tidak asing dan sangat masyhur di kalangan umat Islam internasional dari segi keilmuan dan kemampuan mereka dalam menjawab permasalahan hukum-hukum Islam terlebih dalam masalah kewanitaan.

Rabu, 16 November 2011

Metode Qur’ani Dalam Tafsir Al Qur’an!

0 komentar

Metode Qur’ani Dalam Tafsir Al Qur’an!

Al Qur’an adalah kitab suci terakhir yang Allah turunkan untuk umat manusia. Ia diturunkan dengan bahasa dan dikemas dengan susunan yang indah. Sejak awal penurunanya Al Qur’an telah mendapat sambutan hangat dari kaum Muslim dan mengundang perhatian dan keingin-tahuan tentangnya dan tentang makna yang terkandung di dalamnya.
Allah SWT telah berjanji akan memberikan penjelasan atas firman yang Ia turunkan. Dan Dia juga mempercayakan Nabi-Nya untuk menjadi penafsir utama Al Qur’an. Allah SWT berfirman:

فَإِذا قَرَأْناهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ * ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنا بَيانَهُ.

Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.* Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya. (QS. Al Qiyamah;18-19)
.

وَ أَنْزَلْنا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ ما نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ.

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl;44 )
.
Karenanya tafsir Nabi saw. adalah tafsir yang tidak boleh diabaikan dan harus diutamakan! Ia adalah rujukan utama dan pertama dalam memahami tafsir ayat-ayat Al Qur’an disamping berujuk kepada Al Qur’an sendiri. Sebab ayat-ayat Al Qur’an itu saling mnjelaskan dan saling membenarkan! Nabi saw. bersabda:
.

إنما نزل يُصَدِّقُ بعَضُه بعَضًا

“Sesungguhnya Al Qur’an itu turun untuk saling membenarkan.”[1]
.
Allah SWT Memerintah Umat Manusia Agar Merenungkan Ayat-ayat Al Qur’an!
Tadabbur terhadap ayat-ayat Al Qur’an dengan mengindahkan syarat-syarat yang diperlukan adalah metode tafsir ideal. Allah SWT berfirman:
.

أَ فَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَ لَوْ كانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فيهِ اخْتِلافاً كَثيراً.

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisâ’;82)
.
Tentang ayat di atas, Ibnu katsir berkata, “Allah berfirman memerintah mereka untuk tadabbur, merenungkan Al Qur’an dan melarang dari berpaling darinya dan dari mencari faham tentang makna-maknanya yang kokoh dan teks-teksnya yang balighah. Allah mengabarkan bahwa tiada di dalamnya perselisihan dan kekacauan, tiada juga terdapat pertentangan, sebab ia turun dari Dzat Yang Maha Bijak dan Maha Terpuji. Ia adalah haq dari Dzat Yang Maha Haq… .”[2]
Perintah itu berlaku untuk semua dan di segala waktu. Ia tidak terbatas untuk generasi tertentu. Sebagaimana perintah itu butki kuat bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat direnungkan dan dapat dimengerti dan difahami maknanya. Sebab andai tidak, maka sis-sialah perintah untuk bertadabbur itu!
Dan pemahaman itu bukanlah monopoli generasi tertentu! Dan tafsir produk para pendahulu tidak aula bit tibâ’/lebih berhak diikuti disbanding tafsir generasi lanjutan… bahkan bisa jadi tafsir generasi penerus lebih matang dan lebih mirip dengan kebenaran dan apa yang menjadi maksud Sang Pemfirmannya. Sebab yang menjadi i’tibâr/pengandalan adalah kesesuaiannya atau paling tidak kedekatanya dengan kebenaran dan bukan keklasikan pengucapnya!
.
Nilai tafsir Salaf!
Karenanya, tidak ada keharusan memasung kecerdasan pemahaman seorang mufassir dengan pasung tafsir Salaf terdahulu. Sebab selain tidak ada dalil yang mengharuskan kita memasung diri dengan tafsir Salaf, ia akan mematikan keagungan Al Qur’an sebelum ia mematikan kreatifitas para mufassir! Karena Al Qur’an untuk semua generasi dan dia akan selalu tampil baru dan segar!
Burhânuddîn az Zarkasyi dalam al Burhan-nya menukil keterangan tentang keharusan berujuk kepada tafsir Tabi’în, di antaranya ia berkata, “Dan dalam berujuk kepada tafsir seorang tabi’i telah diriwayatkan dua riwayat (penukilan pendapat) dari Ahmad. Ibnu ‘Aqîl memilih menolak. Dan mereka menukilnya juga dari Syu’bah. … [3]
Tentunya, jangan disalah-fahami bahwa kita tidak perlu menghiraukan tafsir Salaf. Akan tetapi, kita tidak boleh terpasung oleh tafsir Salaf dan atau menjadikannya sebagai hujjah yang wajib diikuti! Ibnu Taimiyah berkata, “Syu’bah bin Hajjâj dan selainnya berkata, “Ucapan-ucapan (pendapat-pendapat) para Tâbi’în bukanlah hujjah, lalu bagaimana ia dapat dijadikan hujjah dalam tafsir?! Ustadz Adz Dzahabi berkata, “Dan kami condong berpendapat bahwa mengambil ucapan para Tâbi’în dalam tafsir tidaklah wajib, kecuali jika pada masalah-masalahyang tiada ruang bagi pendapat, ia dapat diambil ketika tidak ada keraguan padanya.”[4]
Dasar Keberagamaan Yang Salah!
Sebagian orang memasung diri dengan hanya membatasi pamahamannya terhadap ayat-ayat Al Qur’an hanya pada pemahaman Salaf… . Slogan mereka mengatakan, “Berujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman Salaf!” Ini adalah metode yang salah dalam mendasarkan keberagamaan.
Dalam memahami ayat-ayat tentang Tauhid, baik tauhid sifat maupun maalah-masalah terkait lainnya, misalnya mereka pasti akan dihadapkan dengan tumpukan ucapan Salaf yang saling kontradiksi satu dengan lainnya. Bahkan tidak jarang pula terdapat perbedaan penukila dari seorang dari Salaf! Dalam kondisi seperti ini, bagi yang memasung diri hanya dengan pemahaman Salaf pasti akan kesulitan… Dan pada akhirnya mereka mungkin terpaksa melakukan uji kualitas, mana di antara ucapan Salaf itu yang benar untuk diambil dan itu artinya, ucapan Salaf yang lainnya akan dicampakkan dan dibuang ke tong sampah yang menampung limbah-limbah aqwâl Salaf! Itu artinya pula bahwa konsep yang mengatakan harus berujuk kepada Salaf adalah sesuatu yang sulit atau bisa jadi mustahil dipraktikkan! Sebagaimana kenyataan itu membuktikan bahwa para Salaf pun bertingkat-tingkat kualitas intelektualnya.
.
Kaum Pembid’ah Sulit Obyektif Dalam Mengikuti Salaf Shaleh!
Orang yang hanya mencari pembenaran atas nama Salaf akan sangat mudah melupakan Salaf kebanggaannya apabila ternyata ia menyelisihi akidah yang telah diadopsinya.
Seorang yang selama ini membanggakan seorang mufassir Salaf bernama Mujahid misalnya, dia tidak akan segan-segan melupakan dan mencampakkan sang Salaf andalannya itu ketika ternyata ia terbukti menafsirkan ayat 23 surah al Qiyamah dengan tafsiran yang merugikan doktrin lamanya.
Tentang tafsir ayat tersebut, telah diriwayatkan dari Mujahid dengan sanad bersambung melalui beberapa jalur bahwa ia menafsirkannya dengan menanti pahala Tuhan, bukan melihat Tuhan, seperti yang selama ini difahami ulama:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ ناضِرَةٌ * إِلى‏ رَبِّها ناظِرَةٌ.

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Terhadap (pahala) Tuhannyalah mereka menanti.
Ath Thabari berkata:

وقال آخرون: بل معنى ذلك: أنها تنتظر الثواب من ربها.

“Dan sebagian berpendapat: Akan makna ayat itu adalah, ‘Mereka menanti pahala dari Tuhan mereka.’”
Kemudian ath Thabari merangkum tafsir Mujahid tersebut melalui jalur:

حدثنا أبو كُرَيب، قال: ثنا عمر بن عبيد، عن منصور، عن مجاهد ( وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر منه الثواب.

قال: ثنا وكيع، عن سفيان، عن منصور، عن مجاهد ( إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر الثواب من ربها.

حدثنا ابن بشار، قال: ثنا عبد الرحمن، قال: ثنا سفيان، عن منصور، عن مجاهد ( إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر الثواب.

حدثنا ابن حميد، قال: ثنا مهران، عن سفيان، عن منصور عن مجاهد ( إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر الثواب من ربها، لا يراه من خلقه شيء.

حدثني يحيى بن إبراهيم المسعودي، قال: ثنا أبي، عن أبيه، عن جدّه، عن الأعمش، عن مجاهد ( وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ ) قال: نضرة من النعيم ( إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر رزقه وفضله.

حدثنا ابن حميد، قال: ثنا جرير، عن منصور، عن مجاهد، قال: كان أناس يقولون في حديث: « فيرون ربهم » فقلت لمجاهد: إن ناسا يقولون إنه يرى، قال: يَرى ولا يراه شيء.

قال ثنا جرير، عن منصور، عن مجاهد، في قوله: ( إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر من ربها ما أمر لها.

حدثني أبو الخطاب الحساني، قال: ثنا مالك، عن سفيان، قال: ثنا إسماعيل بن أبي خالد، عن أبي صالح، في قوله: ( وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر الثواب.

1)      Dari Abu Kuraib, ia berkata, Umar ibn Ubaid menyampaikan kepada kami, dari Manshur dari Mujahid, “Menanti pahala dari-Nya.”
2)      Ia berkata, Wakî’ menyampaikan kepada kami dari Sufyan dari Manshûr dari Mujahid, “Menanti pahala dari Tuhannya.”
3)      Ibnu Basysyâr menyampaikan kepada kami, ia berkata, Abdurrahman menyampaikan kepada kami, ia berkata, Sufyan menyampaikan kepada kami dari Manshûr dari Mujahid, “Menanti pahala.”
4)      Ibnu Humaid menyampaikan kepada kami, ia berkata, Mahrân menyampaikan kepada kami dari Sufyan dari Manshûr dari Mujahid., ia berkata, ‘Mereka menanti pahala dari Tuhan mereka. Tiada akan melihat-Nya sesuatu apapun dari ciptaan-Nya.!’
5)      Yahya bin Ibrahim al Mas’ûdi menyampaikan kepada kami, ia berkata, ayahku menyampaikan kepada kami dari ayahnya dari kakeknya dari A’masy dari Mujahid, “Menanti rizki dan anugerah-Nya.”
6) Ibnu Hamîd menyampaikan kepada kami, ia berkata Jarîr menyampaikan kepada kami dari Manshur dari Mujahid, ia berkata, “Ada banyak orang berkata tentang hadis, ‘Mereka akan melihat Tuhan mereka.’ Maka aku berkata kepada Mujahid berkata, ‘Orang-orang berkata Dia akan dilihat!’ Mujahid berkata,Dia Maha Melihat dan tidak dapat dilihat oleh sesuatu apapun.
7)      Jarîr menyampaikan kepada kami dari Manshur dari Mujahid ia berkata, “Mereka menanti dari Tuhan mereka apa yang  Dia perintahkan.”[5]
Bagi mereka yang selama ini mengkultus Salaf dan memasung diri hanya dengan menelan mentah-mentah apa yang dikatakan Salaf tentang ayat tertentu pasti berusaha keluar dari jeratan problem seperti ini… . Tetapi bagi yang punya keterbukaan dan tidak memandang tafsir Salaf sebagai hujjah, pasti ia akan kembali kepada metode tadabbur/perenungan ayat dan tidak akan menerima atau menolak tafsir Salaf kecuali atas dasar bukti… bukan atas dasar ucapan Salaf itu sendiri!

Tidak Semua Ayat Al Qur’an Telah Ditafsirkan Oleh Salaf
Masalah lain yang akan menghadang mereka yang mengebiri kreatifitasnya dalam memahami tafsir Al Qur’an adalah bahwa ternyata tidak semua ayat Al Qur’an tu telah ditafsirkan oleh generasi Salaf baik sahabat mapun tabi’în. Bahkan seperti yang kita ketahui bahwa Nabi saw. pun tidak menafsirkan seluruh ayat Al Qur’an. Atau paling tidak berdasarkan riwayat yang ada di tangan para ulama, ternyata banyak ayat yang terlewatkan tidak ada riwayat tafsir Nabi saw.!
Sumber Pengambilan Salaf Dalam Tafsir
Bagi Anda yang mengetahui sumber pengambilan Salaf dalam memahami dan menafsirkan Al Qur’an pasti ia tidak akan terjebak dalam kungkungan tafsir Salaf! Ustadz adz Dzahabi dalam kitabnya at Tafsîr wal al Mufassirûn menyebut empat sumber tafsir Salaf generasi awal; para sahabat:
(1)   Al Qur’an itu sendiri.
(2)   Nabi saw.
(3)   Ijtihad dan istimbâth/penyimpulan. Ketika mereka tidak menemukan keterangan tentang sebuah ayat dari Al Qur’an atau kesulitan mendapatkan keterangan dari Sunnah Nabi saw., mereka kembali kepada ijtihad dan menggunakan pikiran untuk menyimpulkan pendapat.
(4)   Pendapat Ahlul Kitab; Yahudi dan Nashrani.[6]
(5)   Dan di sini dapat ditambahkan sumber kelima yaitu Bahasa Arab melalui syair-syair orang-orang Arab, seperti yang banyak dilakukan oleh Ibnu Abbas ra. Sebab syair-syair bangsa Arab adalah bagaikan kamus yang merangkum kata-kata yang asing didengar oleh kebanyakan orang sekali pun. Sayyidina Umar ra. berkata, “Hendaknya kalian memperhatikan diwân kalian  agar kalian tidak tersesat!” Mereka berkata, ‘Apa yang Anda maksud dengan diwân kami? Ia menjawab, “Syair-syair bangsa Arab masa jahiliyah. Di dalamnya terdapat tafsir Kitab suci kalian dan makna pembicaraan kalian.[7]
Adapun Salaf generasi tabi’în maka pengambilan mereka dalam tafsir dapat kita rangkum sebagai di bawah ini:
(1)   Berujuk kepada Al Qur’an.
(2)   Mengindahkan tafsir Nabi saw dan keterangan para Sahabat yang sampai kepada mereka.
(3)   Memperhatikan asbâb nuzûl dan kasus-kasus yang karenanya ayat itu diturunkan.
(4)   Berujuk kepada bahasa Arab, khususnya yang diabadikan dalam syair-syair mereka. Ibnu Abbas ra. menganjurkan para muridnya untuk memperhatikan dan merujuk syair-syair Arab untuk mengenali arti kata dalam ayat Al Qur’an.[8]
(5)   Mengandalkan ra’yu dan ijtihad melalui perenungan dan penyimpulan. Dalam arti mereka menafsirkan tanpa berujuk kepada tafsir Nabi saw. atau seorang dari sahabat pun. Dengan bertadabbur dan memerhatikan segala yang meliputi ayat yang hendak ia tafsirkan.
(6)   Merujuk peninggalan Ahlul Kitab; Yahudi dan Nashrani (Perjanjian lama dan Perjanjian Baru).
Setelah ini pasti Anda maklum bahwa tidaklah benar anggapan bahwa seorang mufassir harus memasung pemahamanannya dan membatasi diri dengan menjadikan tafsir Salaf sebagai hujjah yang tidak boleh keluar darinya! Sehingga apapun yang dipahami oleh seorang mufassir betapapun hebat dan luasnya ilmu yang ia miliki sebagai tafsir Khalafi yang konotasinya adalah bid’ah… mengada-ngada… tidak memiliki Salaf… dan akhirnya dicap tafsir liar! Sebab apapun yang tidak diambil dari Salaf pasti ia dihukumi liar!!
Ar Râghib al Ishfahâni berkata menjelaskan ruang lingkup seorang mufassir, “Manusia telah berbeda pendapat tentang tafsir al Qur’an, apakah ia boleh bagi setiap orang untuk menjeburkan diri di dalamnya? Sebagian orang berkeras sikap dan berkata, ‘Tidak boleh bagi seorang menafsirkan al Qur’an walaupun ia seorang yang alim/pandai, sastrawan Arab, luas pengetahuannya tentang dalil-dalil fikih, nahwu (tata bahasa Arab), akhbâr/berita dan atsâr/data-data yang dinukil. Yang boleh baginya hanyalah menyampaikan apa yang telah sampai kepadanya dari riwayat Nabi saw. dan dari orang-orang yang menyaksikan turunnya al Qur’an yaitu para sahabat dan orang-orang yang menimba ilmu dari para sahabat yaitu tabi’în…. Dan yang lainnnya mengatakan, ‘barang siapa yang mendalami satra Arab maka boleh baginya menafsirkan Al Qur’an. Orang-orang berakal dan para sastrawan…
Kedua pendapat di atas adalah ghuluw (berkeras-keras) dan tafrîth (teledor). Barang siapa membatasi diri dengan apa yang dinukil maka ia benar-benar meninggalkan banyak hal yang ia butuhkan. Dan barang siapa membolehkan siapa saja menafsirkan Al Qur’an maka ia telah menjadikannya sasaran kekacauan dan tidak mengindahkan firman-Nya:
.

كِتابٌ أَنْزَلْناهُ إِلَيْكَ مُبارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آياتِهِ وَ لِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الْأَلْبابِ.

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat- ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang- orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad;29).[9] Setelahnya ia menjelaskan sepuluh syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir.
Bukti Nyata!
Bukti nyata adalah bahwa para ulama islam di sepanjang zaman melibatkan diri dalam tafsir Al Qur’an dan tidak membatasi diri hanya terpaku dengan tafsir yang dima’tsurkan dari Salaf dengan segala hormat kita semua kepada Salaf!
Karenanya, ucapan seorang yang mengaku Salafi, “Tunjukkan siapa Salaf kamu dalam pemahaman ayat ini atau itu?!” “Tafsir kamu adalah tafsir Khalafi.. tafsir bid’ah dll. adalah ucapan seorang santri abangan yang terkesan awam tapi sok Salafi… terkenal dangkal tapi sok peneliti… dan akhirnya mengundang keprihatinan mendalam bagi para ulama muhaqqiqûn!
Semoga Allah SWT senantiasa berkenan membimibng kita semua ke jalan-Nya. Amîn.

[1] Tafsir Ibn Katsir,1/529.
[2] Ibid.
[3] Al Burhan Fî ‘Ulûmil Qur’ân,2/158.
[4] At Tafsîr wal al Mufassirûn,1/128-129 rujuk juga Muqaddimah Ushul at Tafsîr; Ibnu Taimiyah:28-29, Fawâtih ar Rahamût,2/188 dan al Itqân,2/179..
[5] Tafsir ath Thabari,29/192-193. Setelah menyebutkan perbedaan ahli ta’wil tentang ayat di atas dan setelah merangkum tafsir Mujahid, Ibnu Jarîr ath Thabari menimbang dan kemudian memutuskan menolak tafsir Mujahid!
[6]Keterangan lengkap dipersilahkan merujuk ke at Tafsîr wal al Mufassirûn,1/36-62.
[7] at Tafsîr wal al Mufassirûn,1/74.
[8] Ibid.
[9] Mukaddimah Fi at Tafsîr:93.

http://abusalafy.wordpress.com/2011/01/17/metode-qur%E2%80%99ani-dalam-tafsir-al-qur%E2%80%99an/

Benarkan Kaum Musyrik Arab Beriman Kepada Tauhid Rububiyyah Allah? – Bantahan Untuk Ustad Firanda

0 komentar

Benarkan Kaum Musyrik Arab Beriman Kepada Tauhid Rububiyyah Allah? – Bantahan Untuk Ustad Firanda

Bukti-bukti Lain Bahwa Kaum Musyrik Arab Juga Menyekutukan Allah Dalam Tauhid Rububiyyah Allah
Kaum Musyrik Menyamakan Sesembahan Mereka Dengan Allah dalam Rubûbiyyah
Di antara ayat-ayat yang menjelaskan keyakinan kaum Musyrik Arab terhadap âlihah yang mereka sembah di dunia adalah ayat-ayat yang menjelaskan bahwa mereka itu menyamakan tuhan-tuhan mereka dengan Allah SWT dalam kekuasaan dalam memberikan pengaruh, baik kebaikan maupun keburukan. Keyakinan syirik itu kelak yang akan mereka sesali di saat mereka bersama sesembahan-sesembahan mereka ditelungkupkan ke dalam api neraka. Di saat itu mereka menyadari kesesatan yang mereka yakini selama dalam kehidupan dunia. Allah SWT mengisahkan penyesalan mereka atas akidah syirik yang menyamakan sesembahan-sesembahan mereka dengan Allah SWT dalam  surah asy Syua’râ’ ayat 91-98:

وَ بُرِّزَتِ الْجَحيمُ لِلْغاوينَ * وَ قيلَ لَهُمْ أَيْنَ ما كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ * مِنْ دُونِ اللَّهِ هَلْ يَنْصُرُونَكُمْ أَوْ يَنْتَصِرُونَ * فَكُبْكِبُوا فيها هُمْ وَ الْغاوُونَ * وَ جُنُودُ إِبْليسَ أَجْمَعُونَ * قالُوا وَ هُمْ فيها يَخْتَصِمُونَ * تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفي‏ ضَلالٍ مُبينٍ * إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعالَمينَ .

“dan diperlihatkan dengan jelas neraka Jahim kepada orang-orang yang sesat”,* dan dikatakan kepada mereka:” Di manakah sesembahan-sesembahan yang dahulu kamu selalu menyembah (nya).* selain Allah? Dapatkah mereka menolong kamu atau menolong diri mereka sendiri”* Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang sesat, * dan bala tentara iblis semuanya.* Mereka berkata sedang mereka bertengkar di dalam neraka *  demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata,* karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam.” (QS. Asy Syua’râ’91-98)
.
Keterangan Para Ahli Tafsir
Dari ayat-ayat di atas terlihat jelas sekali bagaimana sebenarnya keyakinan kaum Musyrik Arab terhadap sesembahan-sesembahan yang mereka sembah di dunia.  Mereka menyamakannya dengan Allah SWT. demikian para mufassir seperti Imam ath Thabari, al Baghawi, asy Syaukani dll. menafsirkan.
Coba perhatikan keterangan mereka tentang ayat-ayat di atas!

وَ قيلَ لَهُمْ أَيْنَ ما كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ * مِنْ دُونِ اللَّهِ هَلْ يَنْصُرُونَكُمْ أَوْ يَنْتَصِرُونَ *

dan dikatakan kepada mereka:” Di manakah sesembahan-sesembahan yang dahulu kamu selalu menyembah (nya).* selain Allah? Dapatkah mereka menolong kamu atau menolong diri mereka sendiri”*
Imam Ibnu Jarîr ath Thabari menafsirkan demikian:

وقيل لِلْغَاوِينَ ( أَيْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ ) من الأنداد ( هَلْ يَنْصُرُونَكُمْ ) اليوم من الله, فينقذونكم من عذابه ( أَوْ يَنْتَصِرُونَ ) لأنفسهم, فينجونها مما يُرَاد بها؟.

dan dikatakan kepada mereka (orang-orang yang sesat itu): “Di manakah sesembahan-sesembahan yang dahulu kamu selalu menyembah (nya).* selain Allah? (yaitu sekutu-sekutu/andâd)[1] Dapatkah mereka menolong kamu (pada hari ini dari Allah, lalu ia menyelamatkan kamu dari siksa-Nya) atau menolong diri mereka sendiri” (lalu mereka menyemalatkan diri mereka dari apa yang dimaukan darinya?)

فَكُبْكِبُوا فيها هُمْ وَ الْغاوُونَ

Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang sesat.”
Tentang ayat di atas, Imam ath Thabari menukil dari Ibnu Zaid melalui Yunus dari Ibnu Wahb, ia berkata, Ibnu Zaid berkata tentang firman di atas:

حدثني يونس, قال: أخبرنا ابن وهب, قال: قال ابن زيد, فى قوله: ( فَكُبْكِبُوا فِيهَا ) قال: طرحوا فيها. فتأويل الكلام: فكبكب هؤلاء الأنداد التي كانت تعبد من دون الله في الجحيم والغاوون.

“Mereka dilemparkan ke dalam nereka Jahîm. Ta’wil firman itu adalah: Mereka; sekutu-sekutu/andâd yang dahulu disembah selain Allah dilemparkan ke dalam neraka jahîm bersama orang-orang yang sesat.”
.

قالُوا وَ هُمْ فيها يَخْتَصِمُونَ * تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفي‏ ضَلالٍ مُبينٍ * إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعالَمينَ .

“Mereka berkata sedang mereka bertengkar di dalam neraka *  demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata,* karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam.”
Imam ath Thabari berkata menafsirkan:

يقول تعالى ذكره: قال هؤلاء الغاوون والأنداد التي كانوا يعبدونها من دون الله وجنود إبليس, وهم في الجحيم يختصمون. ( تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ ) يقول: تالله لقد كنا في ذهاب عن الحقّ, إن كنا لفي ضلال مبين, يبين ذهابنا ذلك عنه عن نفسه, لمن تأمله وتدبره, أنه ضلال وباطل. وقوله: ( إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ ) يقول الغاوون للذين يعبدونهم من دون الله: تالله إن كنا لفي ذهاب عن الحقّ حين نعدلكم برب العالمين فنعبدكم من دونه.

وبنحو الذي قلنا في ذلك قال أهل التأويل.

“Mereka; orang-orang yang sesat itu dan andâd yang dahulu mereka sembah selain Allah dan juga bala tentara Iblis berkata sedang bertengkar di dalam neraka jahîm, ‘demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata’ ia berfirman, ‘Demi Allah kami benar-benar menjauh dari kebenaran, dan kami berada dalam kesesatan yang nyata…. karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam. Orang-orang yang sesat itu berkata kepada sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, ‘Demi Allah kami benar-benar dalam penyimpangan dari kebenaran ketika kami menyamakan kalian dengan Rabbul ‘Âlamîn lalu kami sembah kalian di samping Allah.”
Dan seperti yang kami katakan ini berpendapat ahli tafsir. …

حدثني يونس, قال: أخبرنا ابن وهب, قال: قال ابن زيد, في قوله: ( إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ ) قال: لتلك الآلهة.

Yunus menyampaikan kepadaku, ia berkata, Ibnu Wahb menyampaikan kepada kami, ia berkata, Ibnu Zaid berkata, tentang ayat: “karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam. Mereka berkata kepada âlihah/tuhan-tuhan itu.”[2]
Asy Syaukani berkata menafsirkan:

فَكُبْكِبُوا فيها هُمْ وَ الْغاوُونَ

Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang sesat.”
“Mereka dilempar ke dalam nereka Jahîm. Kata ganti orang ketiga: hum/mereka adalah sesemhaban dan al Ghâwûn/orang-orang yang sesat adalah para penyembah mereka.
… Dan ada yang berkata, ‘hum/mereka’ adalah  kaum kafir Quraisy dan al Ghâwûn adalah âlihah/tuhan-tuhan sesembahan mereka.”[3]
.
Abu Salafy berkata:
Pengakuan kaum Musyrik dalam persengketaan antara mereka dengan sesembahan-sesembahan mereka di dalam neraka Jahîm yang direkam Allah dalam ayat tersebut yang menyamakan mereka dengan Allah SWT adalah bukti kuat bahwa kamu Musyrik Arab itu menyamakan Allah dalam kekuasaan yang mereka miliki secara mandiri/independen. Sebagaimana Allah mengatur alam semesta, demikian juga mereka meyakini bahwa sesembahan mereka memiliki kekuasaan itu secara independen pula. Sebab jika tidak, maka itu artinya mereka tidak menyamakannya dengan Allah SWT. padahal kaum Musyrik itu mengakui bahwa mereka menyamakannya dengan Allah SWT.!
Kenyataan itu akan makin jelas dengan memerhatikan ayat di bawah ini.
Ayat Lain!
Allah SWT berfirman:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذي خَلَقَ السَّماواتِ وَ الْأَرْضَ وَ جَعَلَ الظُّلُماتِ وَ النُّورَ ثُمَّ الَّذينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ

“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun kemudian orang-orang yang kafir menyamakan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.” (QS. Al An’âm;1)
.
Kata: يَعْدِلُونَ menjadikan sesuatu lain adîlan bagi Allah. Kata adîlan seperti diterangkan para ahli bahasa dan juga ditegaskan para mufassir adalah sesuatu yang disamakan dengan sesuatu lain. Asal kata al ‘adl adalah penyamaan seatau dengan sesuatu lain. Jadi makna ayat tersebut: “Kemudian, setelah penjelasan bahwa Allah lah Dzat yang menciptakan langit dan bumi, menjadikan gelap dan cahaya, orang-orang yang kafir itu menyamakan sesuatu lain dengan Allah. Yaitu mereka menyamakan sesembahan-sesembahan mereka itu dengan Allah Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur alam!
Jadi, walaupun boleh jadi mereka mengakui Allah pencipta alam, namun mereka (kaum Musyrik Arab) menyamakan selain Allah dengan Allah dalam pengaturan alam/Rubûbiyyah. Dan inilah yang dinamakan memusyrikkan Allah dengan selain-Nya!
Ibnu Jarîr, Ibnu Abi Hâtim dan para mufassir lain menukil Ibnu Zaid sebagai menafsirkan:
‘namun kemudian orang-orang yang kafir menyamakan (sesuatu) dengan Tuhan mereka’ yaitu âlihah yang mereka sembah. Mereka menyamakannya dengan Allah- Ta’ala-. Padahal Alllah tidak mempunyai tandingan, padanan, dan tiada bersama-Nya âlihah, dan Dia tidak menjadikan istri dan anak.”[4]

Kata Andâd Memperjelas Bukti Kemusyrikan Bangsa Arab Terhadap Rubûbiyyah Allah
Makna kata adîlan dan idlan yang darinya kata kerja يَعْدِلُونَ diambil akan lebih jelas apabila kita libatkan ayat-ayat yang menyebutkan bahwa kaum Musyrik Arab itu menjadikan sesembahan-sesembahan mereka itu sebagai andâd! Seperti dalam banyak ayat di antaranya:

فَلاَ تَجْعَلُوْا ِللهِ أَندَاداً وَ أَنتُمْ تَعْلَمُوْنَ.

Oleh karena itu, janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui (bahwa tidak satupun dari para sekutu itu yang menciptakanmu dan memberikan rezeki kepadamu).” (QS. al Baqarah;22)

وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدَاداً

Dan ada sebagian manusia yang memilih sekutu-sekutu selain Allah… “ (QS. al Baqarah;165)

وَ جَعَلُوا لِلَّهِ أَنْداداً لِيُضِلُّوا عَنْ سَبيلِهِ قُلْ تَمَتَّعُوا فَإِنَّ مَصيرَكُمْ إِلَى النَّارِ.

Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah:” Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka.”(QS. Ibrahim;30)
Kata niddun (bentuk tunggal kata andâd) adalah sebuah kata yang penting dan berulang kali disebutkan dalam Al Qur’an ketika mengecam kemusyrikan kaum Musyrik Arab. Kata itu dipakai untuk menunjuk makna serupa dengan kata syarîk/sekutu bagi Allah seperti klaim mereka!
Di antara makna kata niddun adalah:
1)      Apa-apa yang menyerupai dan melawan sesuatu lain dalam urusannya. Kata nadîdun dan niddun artinya sama. Bentuk jamaknya andâd. Demikian diterangkan oleh al Farâhidi dalam kitab al ‘Ain,8/10.
2)      Niddun adalah sama dengan mitslun. Dan kata itu dipakai untuk menunjukkan serupa yang melawan, diambil dari kata: nâdadtuhu, artinya: khâlaftuhu/aku menentangnya. Demikian diterangkan oleh Abu Hilâl al ‘Askari dalam kitab Fuûq Lughawiyah-nya:535 kata dengan nomer 2154.
3)      Nuddun adalah matsîl dan nadzîr (yang serupa). Demikian diterangkan dalam kamus Tâjul ‘Arûs,2/405.
Dari keterangan ahli bahasa di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang difahami dari kata niddun adalah makna yang serupa dan terkadang diartikan yang menentang.
Dalam arti pertama (yang disepakati antara para ahli bahasa Arab) kata itu akan menjadi jelas bahwa kaum Musyrik Arab itu menjadikan sesembahan-sesembahan mereka sebagai yang serupa dengan Allah SWT.
Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya menulis sebuah bab dengan judul: Oleh karena itu, janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah.
Ibnu Hajar dalam syarah Shahih Bukhari menukil keterangan Ibnu Baththâl dan al Kirmani sebagai mengatakan: “Maksud (Imam) Bukhari dalam bab ini adalah menetapkan penisbatan seluruh amal perbuatan kepada Allah, baik yang dikerjakan makhluk itu baik ataupun keburukan. Semuanya adalah ciptaan Allah dan hamba hanya memiliki kasb saja. Tidak dinisbatkan ciptaan apapun kepada selain Allah, sebab jika dinisbatkan kepada selain-Nya maka ia akan menjadi syarîk dan niddan yang menyamai Allah dalam penisbatan amal perbuatan.
Al Kirmani berkata, “Judul bab ini mengesankan bahwa yang dimaksud adalah penetapan tidak adanya sekutu bagi Allah, maka pantasnya ia diletakkan di awal-awal bab Tauhid. Tetapi bukan itu yang dimaksud di sini, namun yang dimaksud adalah bahwa seluruh amal perbuatan hamba adalah ciptaan Allah, sebab jika amal mereka itu adalah ciptaan mereka sendiri niscaya mereka itu andâd bagi Allah dan sekutu-Nya dalam penciptaan… .”[5]
Abu Salafy berkata:
Yang ingin saya katakan di sini adalah pemahaman Ibnu Baththâl dan Imam al Kirmâni bahwa kata niddun tidak akan tepat makna kecuali jika dinisbatkan kepadanya penciptaan, sebab dengan demikian ia (niddun) itu menjadi syarîk/sekutu Allah, seperti dalam akidah kaum Musyrik Arab yang batil itu!
Jadi jika kita mengandalkan makna bahasa dari kata tersebut maka kita mesti mengatakan bahwa kata itu menunjuk kepada arti kata syarîk yang menyamai Allah dalam kekuasaannya secara independen dan mandiri. Karenanya ia berhak disebut niddun!
Wallahu A’lam.

http://abusalafy.wordpress.com/2011/01/29/benarkan-kaum-musyrik-arab-beriman-kepada-tauhid-rububiyyah-a

Minggu, 14 Agustus 2011

Muhammad II Al-Fatih: Sang Penakluk Konstantinopel

0 komentar

Muhammad II Al-Fatih: Sang Penakluk Konstantinopel




Abu Qubail menuturkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, “Suatu ketika kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau ditanya, “Mana yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Romawi?” Beliau menjawab, “Kota Heraklius-lah yang akan terkalahkan lebih dulu.” Maksudnya adalah Konstantinopel.” [H.R. Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim]
“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335]
Jika anda terkagum-kagum dengan penggambaran perang yang ketat antara Balian of Ibelin melawan Shalahudin Al-Ayyubi di film Kingdom of Heaven [resensi Priyadi], maka perang antara Constantine XI Paleologus dengan Muhammad Al-Fatih jauh lebih ketat, tidak hanya dalam hitungan hari tapi berminggu-minggu.
Sultan Muhammad II atau Mehmed Al-Fatih
Kekaisaran Romawi terpecah dua, Katholik Roma di Vatikan dan Yunani Orthodoks di Byzantium atau Constantinople yang kini menjadi Istanbul. Perpecahan tersebut sebagai akibat konflik gereja meskipun dunia masih tetap mengakui keduanya sebagai pusat peradaban. Constantine The Great memilih kota di selat Bosphorus tersebut sebagai ibukota, dengan alasan strategis di batas Eropa dan Asia, baik di darat sebagai salah satu Jalur Sutera maupun di laut antara Laut Tengah dengan Laut Hitam dan dianggap sebagai titik terbaik sebagai pusat kebudayaan dunia, setidaknya pada kondisi geopolitik saat itu.
Yang mengincar kota ini untuk dikuasai termasuk bangsa Gothik, Avars, Persia, Bulgar, Rusia, Khazar, Arab-Muslim dan Pasukan Salib meskipun misi awalnya adalah menguasai Jerusalem. Arab-Muslim terdorong ingin menguasai Byzantium tidak hanya karena nilai strategisnya, tapi juga atas kepercayaan kepada ramalan Rasulullah SAW melalui riwayat Hadits di atas.
Wilayah Konstantinopel
Upaya pertama dilakukan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 668M, namun gagal dan salah satu sahabat Rasulullah SAW yaitu Abu Ayyub Al-Anshari ra. gugur. Sebelumnya Abu Ayyub sempat berwasiat jika ia wafat meminta dimakamkan di titik terjauh yang bisa dicapai oleh kaum muslim. Dan para sahabatnya berhasil menyelinap dan memakamkan beliau persis di sisi tembok benteng Konstantinopel di wilayah Golden Horn.
Generasi berikutnya, baik dari Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah hingga Turki Utsmani pada masa pemerintahan Murad II juga gagal menaklukkan Byzantium. Salah satu peperangan Murad II di wilayah Balkan adalah melawan Vlad Dracul, seorang tokoh Crusader yang bengis dan sadis (Dracula karya Bram Stoker adalah terinsipirasi dari tokoh ini). Selama 800 tahun kegagalan selalu terjadi, hingga anak Sultan Murad II yaitu Muhammad II naik tahta Turki Utsmani.
Sejak Sultan Murad I, Turki Utsmani dibangun dengan kemiliteran yang canggih, salah satunya adalah dengan dibentuknya pasukan khusus yang disebut Yanisari. Dengan pasukan militernya Turki Utsmani menguasasi sekeliling Byzantium hingga Constantine merasa terancam, walaupun benteng yang melindungi –bahkan dua lapis– seluruh kota sangat sulit ditembus, Constantine pun meminta bantuan ke Roma, namun konflik gereja yang terjadi tidak menelurkan banyak bala bantuan.
Constantine XI Paleologus
Hari Jumat, 6 April 1453M, Muhammad II atau disebut juga Mehmed bersama gurunya, syaikh Aaq Syamsudin, beserta tangan kanannya, Halil Pasha dan Zaghanos Pasha merencanakan penyerangan ke Byzantium dari berbagai penjuru benteng kota tersebut. Dengan berbekal 150.000 ribu pasukan dan meriam buatan Urban –teknologi baru pada saat itu– Muhammad II mengirim surat kepada Paleologus untuk masuk Islam atau menyerahkan penguasaan kota secara damai atau perang. Constantine Paleologus menjawab tetap mempertahankan kota dengan dibantu oleh Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan Giovanni Giustiniani dari Genoa.
Kota dengan benteng 10m-an tersebut memang sulit ditembus, selain di sisi luar benteng pun dilindungi oleh parit 7m. Dari sebelah barat melalui pasukan altileri harus membobol benteng dua lapis, dari arah selatan laut Marmara pasukan laut harus berhadapan dengan pelaut Genoa pimpinan Giustiniani dan dari arah timur armada laut harus masuk ke selat sempit Golden Horn yang sudah dilindungi dengan rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tak bisa lewat.
Berhari-hari hingga berminggu-minggu benteng Byzantium tak bisa jebol, kalaupun runtuh membuat celah pasukan Constantine mampu mempertahankan celah tersebut dan dengan cepat menumpuk kembali hingga tertutup. Usaha lain pun dicoba dengan menggali terowongan di bawah benteng, cukup menimbulkan kepanikan kota, namun juga gagal. Hingga akhirnya sebuah ide yang terdengar bodoh dilakukan hanya dalam semalam. Salah satu pertahanan yang agak lemah adalah melalui selat Golden Horn yang sudah dirantai. Ide tersebut akhirnya dilakukan, yaitu memindahkan kapal-kapal melalui darat untuk menghindari rantai penghalang, hanya dalam semalam dan 70-an kapal bisa memasuki wilayah selat Golden Horn.
29 Mei, setelah sehari istirahat perang Muhammad II kembali menyerang total, diiringi hujan dengan tiga lapis pasukan, irregular di lapis pertama, Anatolian Army di lapis kedua dan terakhir pasukan Yanisari. Giustiniani sudah menyarankan Constantine untuk mundur atau menyerah tapi Constantine tetap konsisten hingga gugur di peperangan. Kabarnya Constantine melepas baju perang kerajaannya dan bertempur bersama pasukan biasa hingga tak pernah ditemukan jasadnya. Giustiniani sendiri meninggalkan kota dengan pasukan Genoa-nya. Kardinal Isidor sendiri lolos dengan menyamar sebagai budak melalui Galata, dan Pangeran Orkhan gugur di peperangan.
Konstantinopel telah jatuh, penduduk kota berbondong-bondong berkumpul di Hagia Sophia, dan Sultan Muhammad II memberi perlindungan kepada semua penduduk, siapapun, baik Islam, Yahudi ataupun Kristen. Hagia Sophia pun akhirnya dijadikan masjid dan gereja-gereja lain tetap sebagaimana fungsinya bagi penganutnya.
Toleransi tetap ditegakkan, siapa pun boleh tinggal dan mencari nafkah di kota tersebut. Sultan kemudian membangun kembali kota, membangun sekolah –terutama sekolah untuk kepentingan administratif kota– secara gratis, siapa pun boleh belajar, tak ada perbedaan terhadap agama, membangun pasar, membangun perumahan, bahkan rumah diberikan gratis kepada para pendatang yang bersedia tinggal dan mencari nafkah di reruntuhan kota Byzantium tersebut. Hingga akhirnya kota tersebut diubah menjadi Istanbul, dan pencarian makam Abu Ayyub dilakukan hingga ditemukan dan dilestarikan.
Dan kini Hagia Sophia yang megah berubah fungsi menjadi museum.


Sumber: Alwi Alatas: Al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel, Penerbit Zikrul Hakim, 2005

Minggu, 10 Juli 2011

surat al ahzab :59

0 komentar

surat al ahzab :59 tentang "keharusan wanita memakai jilbab bila keluar rumah"
Artinya "Hai Nabi,katakanlah kepada istri-istrimu,anak-anak perempuanmu,dan istri-istri kaum mukmin:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah di kenal,karena itu mereka tidak diganggu.Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang "(Al-Ahzab:59)

tafsir:
Allah Ta`ala menyuruh Rasulullah agar dia menyuruh wanita-wanita mukimin,terutama istri-istri dan anak-anak perempuan beliau karena keterpandangan mereka,agar mengulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka.Sebab cara berpakaian demikian membedakan mereka dari kaum jahiliah dan budak-budak perempuan.Jilbab berarti selendang yang lebih lebar daripada kerudung.Demikianlah menurut Ibnu mas`ud,Ubaidah,Qatadah,dan sebagainya.Kalau sekarang,jilbab itu seperti kain panjang.Al-Jauhari berkata,"Jilbab ialah kain yang dapat di lipatkan."

Ali Bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,dia berkata,"Allah menuyruh kaum wanita mukmin,jika mereka hendak keluar rumah untuk suatu kepentingan,agar menutup wajah mereka mulai dari atas kepala dengan jilbab.Yang boleh tampak hanyalah kedua matanya saja."
Muhammad Bin Sirrin berkata,"Aku bertanya kepada Ubaidah as Salmani mengenai firman Allah,"hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuhnya.dia berkata"yaitu menutup wajah,kepala dan hanya boleh menampakkan mata kirinya".
Ikrimah berkata,"Berarti wanita harus menutup lehernya dengan jilbab yang dilipatkan kedadanya."

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ummu salamah,dia berkata,"Setelah ayat di atas turun,maka kaum wanita anshar keluar rumah dan seolah-olah di kepala mereka terdapat sarang burung gagak.Merekapun mengenakan baju hitam."

Az-Zuhri ditanya tentang anak perempuan yang masih kecil.beliau menjawab,"Anak yang demikian cukup mengenakan kerudung,bukan jilbab".

Firman Allah Ta`ala,"Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal,karena itu mereka tidak di ganggu."Mujahid menafsirkan,"Jika mereka mengenakan jilbab,maka diketahuilah bahwa mereka merupakan wanita-wanita merdeka sehingga tidak diganggu oleh orang fasik dengan sesuatu gangguan atau ejekan."

Firman Allah Ta`ala,"Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang."Maha Pengampun atas perbuatan yang dilakukan pada masa jahiliah,pada saat mereka belum mengenakan jilbab.

dikutip dari:Tafsir Ibnu Katsir jilid 3,surah Al Ahzab :59 hal.902-904.

untuk lebih jelasnya terdapat penjelasan para ulama tentang apakah di wajibkannya memakai cadar (penutup muka) atau sunnah muaqadah..

Allahul Musta`an.

Sebelumnya: dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah
Selanjutnya : air mata orang-orang sholeh...

Sabtu, 11 Juni 2011

Syirik

0 komentar

Awas Syirik !!! ( 2 )


Syirik Akbar
Syirik akbar adalah perbuatan atau keyakinan yang membuat pelakunya keluar dari Islam. Bentuknya ialah dengan memaksudkan salah satu peribadatan (lahir maupun batin) kepada selain Allah, seperti berdoa kepada selain Allah, berkorban untuk jin, dan sebagainya. Apabila ia meninggal dan belum bertaubat maka akan kekal berada di dalam neraka. (lagi…)

Awas Syirik !!! ( 1 )


Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Amma ba’du, sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah. Sebaik-baik jalan adalah jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek urusan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah pasti sesat.

Untaian Aqidah Untuk Mukminin dan Mukminat 2


Pembaca budiman, melanjutkan silsilah keyakinan emas generasi terbaik yang telah ditulis pada bagian terdahulu. Sekarang kita masih menggali faedah-faedah dari perkataan penulis Tsalatsatu Ushul Asy Syaikh Al Imam Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah

Untaian Aqidah Untuk Mukminin dan Mukminat 1


PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, yang masih menyisakan sebagian ahli ilmu di zaman di mana Rasul telah tiada, mereka itulah yang menyeru orang-orang sesat agar mengikuti petunjuk, yang senantiasa bersabar menghadapi gangguan yang menimpa. Mereka jualah yang menghidupkan hati-hati yang mati dengan Kitabullah, mereka berikan pencerahan kepada orang-orang yang telah buta mata hatinya dengan Kitabullah. Betapa banyak orang yang hatinya telah mati dibinasakan iblis kembali hidup hatinya berkat dakwah mereka. Dan betapa banyak orang bodoh dan sesat mendapatkan terangnya hidayah melalui mereka.

AL-ILMU

0 komentar

Istiqomah Dengan Ajaran Islam


Sebagian orang beranggapan, jika umat islam terlalu fanatic dalam menjalankan agama, maka mereka akan menjadi jumud, terbelakang dan tidak akan mampu bersaing dengan perkembangan dunia yang semakin

Hakekat Mencintai Allah


Mahabbah ( kencintaan ) kepada Allah adalah tujuan akhir dan derajat yang tertinggi. Setelah menggapai mahabbah, sungguh tidak ada lagi tingkatan selain buah dari mahabbah itu sendiri, seperti syauqh ( kerinduan ), uns ( kenyamanan ), dan ridho.tidak ada lagi tingkatan sebelum mahabbah selain pendahuluan menuju kepadanya. Seperti taubat, sabar, zuhud dan syukur serta ibadah – ibadah hati yang lainnya.
Cinta yang paling bermanfaat, yang paling mulia dan yang paling tinggi adalah cinta kepada Dzat yang telah menjadikan hati cinta kepadaNya dan menjadikan seluruh makhluk memiliki fitroh untuk mengEsakanNya. Illah adalah Dzat yang dicenderungi oleh hati dengan kecintaan, pengagungan, pemuliaan, penghinaan diri sendiri dihadapanNya, ketundukan dan peribadatan. Ibadah tidak benar kecuali hanya kepadaNya saja. Ibadah adalah kesempurnaan cinta, ketundukan, dan penghianaan diri.
Allah dicintai bukan karena sesuatu yang lain. Allah dicintai dari berbagai sisi. Segala sesuatu selainNya dicintai dalam rangka cinta kepadaNya. Keharusan mencintaiNya telah ditunjukkan oleh seluruh kitab yang diturunkan dan Rasul yang diutus. Juga oleh fitrah, akal manusia, dan nikmat yang Ia anugerahkan. 

Tawakal Bukan Pasrah


Musibah telah datang menimpa tanah air kita secara silih berganti. Dimulai dari tsunami, gempa bumi, kelaparan, flu burung, lumpur panas, pesawat hilang, kapal tenggelam, angina puting beliung dan angin topan, ini merupakan ujian dari Allah SWT terhadap keimanan seorang muslim. Apakah mereka mampu untuk tegar dan sabar dalam menghadapi semua musibah ini ataupun sebaliknya.

Kedudukan Para Sahabat Rasullullah


Para sahabat Rasulullah saw adalah orang-orang yang telah mendapatkan keridhoan dari Allah ta’ala, mereka telah berjuang bersama Rasulullah saw untuk menegakkan Islam dan mendakwahkannya ke berbagai plosoknegeri, perjuangan mereka dalam rangka Lii’lai kalimatillah, mereka telah berkorban dengan harta dan jiwa.mereka adalah manusia yang sepenuhnya tunduk kepada hukum-hukum Allah SWT. 

Indahnya Surga


Surga adalah sebuah tempat yang akan dimasuki oleh orang-orang beriman bertaqwa dan mau beramal shalih, serta merupakan tempat bagi orang-orang yang dikaruniai oleh Allah. Dari kalangan para Nabi, Shiddiqin, Syuhada” dan orang-orang shali sebagai balasan kemudian di kampung akhirat Surga adalah cita-cita yang sangat mulia yang membuat mata terpesona melihat taman-tamannya, yang dirindukan oleh setiap manusia disetiap tempat dan zaman. Sesungguhnya Surga itu adalah cita-cita yang paling agung bagi seorang mukmin. Memasukinya dan hidup di dalamnya adalah sebuah sebuah harapan yang selalu dipikirkannya sepanjang umurnya, sehingga Surga membuat seseorang segera menuju kebaikan dan kebenaran walaupun di dalam perjalanan menujunya dipenuhi bahaya, kesulitan, pengorbanan, dan penuh duri, bahkan kematian

Abdul Malik bin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz

0 komentar
Abdul Malik bin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
 
Umar bin ‘Abdul ‘Aziz Dan Putranya, ‘Abdul Malik bin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
(Cerminan Keakraban Dan Keharmonisan Antara Ayah Yang Shalih Dan Anak Yang Shalih)
“Tahukah anda bahwa setiap kaum mempunyai orang cerdas, dan orang cerdas Bani Umayyah adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz serta bahwa kelak dia dibangkitkan pada Hari Kiamat seorang diri sebagai umat.?” (Muhammad bin Ali bin al-Husain)
Belum lagi seorang tabi’i yang agung, Amirul mu’minin, ‘‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz membersihkan kedua tangannya dari debu kuburan pendahulunya (yakni, khalifah sebelumnya), Sulaiman bin ‘Abdul Malik, tiba-tiba beliau mendengar suara gemuruh bumi di sekitarnya, lalu beliau berkata, “Apa ini?”
Orang-orang berkata, “Ini adalah kendaraan Khalifah -wahai Amirul mu’minin- telah disiapkan untukmu agar engkau menaikinya.” Lalu Umar melihatnya dengan sebelah mata, kemudian berkata dengan suara gemetar dan terbata-bata karena kelelahan dan kurang tidur, “Apa hubungannya denganku? Jauhkanlah ini dariku, mudah-mudahan Allah memberkati kalian. Dan tolong bawa kemari keledaiku, karena ia sudah cukup bagiku.”
Kemudian belum lagi pas posis duduk beliau di atas punggung keledai hingga datanglah komandan polisi yang berjalan di depannya. Bersamanya sekelompok anak-anak buahnya yang berbaris di sektor kanan dan kirinya. Di tangan-tangan mereka tergenggam tombak yang mengkilat. Lalu beliau menoleh ke arahnya dan berkata, “Aku tidak membutuhkan kamu dan mereka. Aku hanyalah orang biasa dari kalangan kaum muslimin. Aku berjalan pagi hari dan sore hari sama seperti mereka.
Selanjutnya, beliau berjalan dan orang-orang berjalan bersamanya hingga memasuki masjid dan orang-orang dipanggil untuk shalat, “ash-Shalâtu Jami’ah…ash-Shalâtu Jami’ah.”
Maka berdatanganlah orang-orang ke masjid dari segala penjuru. Ketika jumlah mereka telah sempurna, beliau berdiri sebagai khatib. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya serta bershalawat atas nabi, kemudian berkata,
“Wahai manusia, sesungguhnya aku mendapat cobaan dengan urusan ini (khilafah) yang tanpa aku dimintai persetujuan terlebih dahulu, memintanya ataupun dan bermusyawarah dulu dengan kaum muslimin.
Sesungguhnya, aku telah melepaskan baiat yang ada di pundak kalian untukku, untuk selanjutnya kalian pilihlah dari kalangan kalian sendiri seorang khalifah yang kalian ridlai.”
Lantas orang-orangpun berteriak dengan satu suara, “Kami telah memilihmu, wahai Amirul mu’minin dan kami ridla terhadapmu. Maka aturlah urusan kami dengan berkat karunia dan barakah Allah.”
Ketika suara-suara telah senyap dan hati telah tenang, beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya sekali lagi dan bershalawat atas Muhammad, hamba dan utusan Allah.
Beliau mulai menganjurkan orang-orang supaya bertakwa, mengajak mereka supaya berzuhud dari kehidupan dunia, mensugesti mereka kepada kehidupan akhirat dan mengingatkan mereka kepada kematian dengan intonasi yang dapat melunakkan hati yang keras, menjadikan air mata durhaka bercucuran dengan deras dan keluar dari lubuk hati pemiliknya sehingga terpatri di dalam lubuk hati para pendengarnya.
Kemudian beliau meninggikan suaranya yang agak serak supaya semua orang mendengarnya,
“Wahai manusia barangsiapa yang taat kepada Allah, maka dia wajib ditaati. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah, maka tidak seorangpun yang boleh ta’at kepadanya. Wahai manusia, Taatilah aku selama aku menaati Allah dalam menangani urusan kalian. Jika aku bermaksiat kepada Allah, maka kalian tidak usah taat kepadaku.”
Kemudian beliau turun dari mimbar untuk menuju ke rumahnya dan masuk ke kamarnya. Beliau benar-benar ingin mendapatkan sedikit istirahat, setelah kelelahan yang amat sangat, semenjak wafatnya khalifah sebelumnya.
Akan tetapi, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz baru saja mau meletakkan punggungnya di tempat tidurnya, hingga datanglah putranya, ‘‘Abdul Malik yang waktu itu baru menginjak usia tujuh belas tahun. Lalu sang putra berkata, “Apa yang ingin engkau lakukan, wahai Amirul mu’minin?!!” Ayahnya menjawab,
“Wahai anakku, aku ingin tidur sejenak, karena sudah tersisa lagi tenagaku ini.”
“Apakah engkau masih ingin tidur sejenak sebelum mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, wahai Amirul mukminin?!!” kata putranya lagi.
Lalu sang ayah menjawab,
“Wahai anakku, sesungguhnya aku tadi malam bergadang malam (tidak tidur) karena bersama pamanmu Sulaiman. Nanti kalau sudah datang waktu Dzuhur, aku akan shalat bersama orang-orang dan akan dan aku mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi tersebut, insya Allah.”
Sang putra berkata lagi,
“Siapakah yang menjaminmu, wahai Amirul mukminin kalau usiamu hanya sampai Zhuhur?!”
Ucapan ini berhasil membakar semangat Umar dan melenyapkan rasa kantuk dari kedua matanya sehingga membangkitkan kekuatan dan kesegaran badannya yang sebelumnya demikian lelah. Ketik itu berkatalah dia kepada sang putra,
“Mendekatlah kemari wahai putraku.!”
Sang putrapun mendekat dan Umar langsung memeluk serta menciumi keningnya seraya berkata,
“Segala puji bagi Allah yang telah melahirkan dari keturunanku orang yang menolongku di dalam menjalankan agama.”
Kemudian beliau berdiri dan menyuruh supaya di umumkan kepada orang-orang, “barangsiapa yang merasa teraniaya, maka hendaklah dia mengajukan perkaranya.”
Lalu, siapakah ‘Abdul Malik ini?! Bagaiman cerita anak muda ini sehingga menjadi buah bibir orang-orang?
Sungguh, dialah anak yang berhasil mensugesti ayahnya untuk rajin beribadah dan mengarahkannya agar menempuh jalan kezuhudan. Marilah kita telusuri lagi kisah pemuda yang shalih ini dari awalnya.!
Adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mempunyai lima belas orang anak, tiga di antaranya ada tiga perempuan. Anak-anak itu semuanya adalah anak-anak yang memiliki tingkat ketakwaan dan keshalihan yang sangat memadai. Namun ‘Abdul Malik adalah putra paling menonjol di antara saudara-saudaranya dan bintangnya mereka yang bersinar-sinar. Dia seorang anak yang ahli sastra, mahir lagi cerdik sekalipun usia masih muda tetapi cara berpikirnya sudah dewasa.
Di samping itu, dia memang tumbuh sebagai anak yang ta’at kepada Allah sejak mudanya sehingga dialah orang yang tingkah lakunya paling dekat dengan keluarga besar al-Khaththab secara umum serta yang paling mirip dengan ‘Abdulllah bin ‘Umar, khususnya dari sisi ketakwaan kepada Allah, rasa takut berbuat maksiat kepada-Nya serta bertaqarrub kepada-Nya dengan melakukan keta’atan.
Keponakannya Ashim (bin Abu Bakar bin Abdul Aziz bin Marwan, dia adalah anak saudara ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz) bercerita, “Suatu waktu, aku bertandang ke Damaskus lantas mampir di rumah anak pamanku (sepupuku), ‘Abdul Malik. saat itu, dia masih bujangan, lalu kami menunaikan shalat isya’ kemudian masing-masing kami beranjak ke tempat tidur. Lalu ‘Abdul Malik mendekati lampu dan mematikannya sementara masing-masing kami mulai tidur. Kemudian aku bangun pada tengah malam, ternyata ‘Abdul Malik sedang berdiri shalat dengan khusyu’nya seraya membaca firman Allah Azza wa Jalla (artinya),
“Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun. Kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka. Niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.” (Q.s.,asy-Syu’arâ`:205-207)
Tidak ada yang membuatku begitu terkesan kepadanya kecuali saat dia mengulang-ulang ayat tersebut dan menangis dengan tangisan yang tersedu-sedu dari dalam hati (tidak terdengar). setiap kali dia selesai dari ayat itu, dia mengulanginya kembali, sehingga aku berkata dalam hati, “Anak ini bisa mati oleh tangisannya.”
Ketika aku melihatnya seperti itu, aku mendesis,
“Lâ ilâha illallâh wal hamdu lillâh. Seakan ucapan orang yang bangun dari tidur, padahal tujuanku untuk menghentikan tangisannya.
Ketika mendengar suaraku, dia terdiam dan tidak lagi terdengar suara rintihannya tersebut.”
Pemuda dari keluarga besar ‘Umar ini banyak berguru kepada ulama’-ulama’ besar pada zamannya sehingga begitu ‘enjoy’ dengan Kitab Allah, kenyang dengan hadits Rasulullah serta pemahaman terhadap agama.
Sehingga dia menjadi seorang yang dapat berkompetisi dengan para ulama kelas atas (ternama) pada zamanya, sekalipun usianya ketika itu masih sangat muda.
Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah mengumpulkan para Qurra` (ahli baca al-Qur’an) dan ahli fiqih negeri Syam. ketika itu, beliau berkata,
“Sesungguhnya aku memanggil kalian untuk penanganan tindak kezhaliman yang sekarang ada di tangan keluargaku, bagaimana pandangan kalian?
Maka mereka berkata,
“Wahai Amirul mukminin, sesungguhnya hal itu tidak termasuk kawasan wewenang anda. Dosa-dosa atas tindakan kezhaliman tersebut sepenuhnya berada di pundak orang yang mengambilnya secara tidak benar (merampasnya).”
Rupanya beliau belum puas dengan jawaban mereka tersebut, lalu melirik ke arah salah seorang di antara mereka yang tidak sependapat dengan pendapat mereka itu, seraya berkata kepadanya,
“Utuslah orang untuk memanggil ‘Abdul Malik, karena dia tidak lebih rendah ilmunya, pemahaman (fiqih)nya ataupun daya nalarnya dari orang-orang telah yang engkau undang.”
Ketika ‘Abdul Malik menemuinya, Umar berkata kepadanya,
“Bagaimana pendapatmu tentang harta orang-orang yang diambil anak-anak paman kita secara dzalim, sedangkan pemilik-pemiliknya telah datang dan memintanya dan kita telah mengetahui hak mereka pada harta itu?!”
‘Abdul Malik berkata, “Menurutku, hendaknya ayahanda mengembalikan harta itu kepada para pemiliknya selama ayahanda mengetahui permasalahannya. Sebab, jika tidak, berarti ayahanda termasuk kongsi orang-orang yang mengambilnya secara dzalim tersebut.”
Maka lapanglah seluruh rongga-rongga tubuh Umar, jiwanya menjadi lega dan apa yang menghantuinyapun hilang.
Anak muda keturunan Umar ini lebih menyukai “Murabathah” (berjaga-jaga di perbatasan dari serangan musuh) dengan tinggal di salah satu kota yang dekat dengannya ketimbang tetap tinggal di negeri Syam.
Dia tetap berangkat ke sana sementara di belakangnya kota Damaskus yang bertaman indah, naungan yang rimbun dan memiliki tujuh sungai dia tinggalkan begitu saja.
Dalam pada itu, sekalipun sang ayah telah mengetahui keshalehan dan ketakwaan anaknya, beliau masih mengkhawatirkannya dan kasihan kalau-kalau dia bisa luluh oleh godaan syaitan dan gejolak-gejolak masa muda serta begitu antusias untuk mengetahui segala-galanya tentang dirinya tersebut selama dia bisa mengetahuinya. Dan beliau tidak pernah melalaikan hal itu dan tidak pernah mengabaikannya sama sekali.
Maimun bin Mahran, seorang menteri, Qadli sekaligus penasehat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, pernah bercerita,
“Sewaktu menemui ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, aku mendapatinya sedang menulis surat kepada anaknya, ‘Abdul Malik. Dalam suratnya itu, beliau memberikan nasehat, pengarahan, peringatan, berita menakutkan dan gembira.
Di antara isinya adalah, ‘Amma ba’du, sesungguhnya engkaulah orang yang paling pantas untuk menangkap dan memahamai ucapanku. Dan sesungguhnya pula, segala puji bagi Allah, Dia telah berbuat baik kepada kita dari urusan sekecil-kecilnya hingga sebeasar-besarnya. Maka ingatlah karunia Allah kepadamu dan kepada kedua orang tuamu. Janganlah sekali-kali kamu berlaku sombong dan bangga diri, karena hal itu adalah termasuk perbuatan syaitan, sedangkan syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi orang-orang yang beriman. Dan ketahuilah, bahwa aku mengirimkan surat ini, bukan karena ada laporan tentang dirimu sebab aku tidak mengetahui tentangmu kecuali hal yang baik-baik. Namun demikian, telah sampai laporan kepadaku bahwa perihal tindakanmu yang suka berbangga-bangga diri. Seandainya kebanggaan ini menyeretmu kepada sesuatu yang aku benci, tentu kamu mendapatkan telah melihat dariku sesuatu yang kamu benci.
Maimun berkata, “Kemudian Umar menoleh kepadaku seraya berkata, ‘Wahai Maimun, sesungguhnya anakku -’Abdul Malik- telah menghiasi mataku (dikasihi dan tidak ada lagi cacatnya) dan aku menuduh diriku telah melakukan itu. Karenanya, aku khawatir kalau rasa cintaku kepadanya telah melebihi pengetahuanku tentang dirinya sehingga apa yang menimpa nenek moyangku dulu yang buta terhadap aib anak-anaknya menimpa diriku juga. Maka pergilah untuk mengawasinya, carilah informasi akurat tentangnya serta perhatikanlah apakah ada padanya sesuatu yang mirip kesombongan dan berbangga-bangg itu, karena dia masih anak muda dan aku belum dapat menjamin dirinya bisa terhindar dari godaan syaithan.”
Maimun berkata lagi, “Maka aku segera berangkat hingga bertemu dengan ‘Abdul Malik, lalu minta permisi dan masuk. Ternyata dia adalah seorang yang baru menginjak remaja dan masih muda belia, memiliki pandangan yang ceria dan sangat tawadlu’ (rendah diri). Dia duduk di atas hamparan putih, di atas karpet yang terbuat dari bulu. Lantas menyambutku sembari berkata, ‘Aku telah mendengar ayahanda sering berbicara tentang dirimu yang memang pantas kamu menyandangnya, yaitu seorang yang baik. Aku berharap Allah menjadikanmu orang yang berguna.’ Aku bertanya kepadanya, ‘Bagaimana keadaanmu?’
Dia menjawab, ‘Senantiasa dalam keadaan baik dan mendapat nikmat dari Allah Azza wa Jalla. Hanya saja, aku khawatir bilamana sangkaan baik ayahanda terhadapku membuatku terbuai sementara sebenarnya aku belum mencapai tingkat keutamaan sebagaimana yang disangkanya itu. Dan sungguh aku khawatir kalau kecintaan ayahanda kepadaku telah melebihi pengetahuannya tentang diriku sehingga aku malah menjadi bebannya.’
Mendengar jawaban itu, aku (Maimun) jadi terkagum-kagum kenapa bisa terjadi kecocokan hati di antara keduanya. Kemudian aku bertanya kepadanya,
‘Tolong beritahu aku dari mana sumber penghidupanmu.?’
Dia berkata, “Dari hasil tanah yang aku beli dari seseorang yang mendapat warisan ayahnya. Aku membayarnya dengan uang yang bukan syubhat sama sekali sehingga karenanya aku tidak membutuhkan lagi harta Fai’ (yang didapat tidak melalui peperangan-red.,) kaum Muslimin.’ Aku bertanya lagi,
‘Apa makananmu?’
‘Terkadang daging, terkadang ‘Adas dan minyak dan terkadang cuka dan minyak. Dan, ini sudah cukup.”
Lalu aku bertanya lagi,
“Apakah kamu tidak merasa bangga dengan dirimu sendiri?” Dia menjawab, “Pernah aku merasakan sedikit dari hal semacam itu namun tatkala ayahandaku memberikan wejangan kepadaku, dia berhasil membelalakkan mataku akan hakikat diriku dan menjadikannya kecil bagiku dan jatuh harkatnya di mataku sehingga akhirnya Allah Azza wa Jalla menjadikan wejangan itu bermanfaat bagi diriku. Semoga Allah membalas kebaikan ayahandaku.”
Satu jam aku habiskan untuk mengobrol bersamanya dan rileks dengan ucapannya. Rasanya, belum pernah aku melihat pemuda setampan dia, sesempurna otaknya dan seluhur akhlaqnya padahal dia masih beliau dan kurang pengalaman.
Ketika di penghujung siang, pembantunya datang semberi berkata,
“Semoga Allah memperbaiki dirimu, kami sudah kosongkan!.” Lalu dia diam…
Aku bertanya kepadanya,
“Apa yang mereka kosongkan itu?.”
“WC.” Katanya
“Bagaimana caranya.?” Tanyaku lagi
“Yah, mereka kosongkan dari orang-orang.” Jawabnya
“Tadinya sikapmu mendapatkan tempat yang agung di hatiku hingga sekarang aku dengar hal ini.” Kataku
Dia begitu cemas dan mengucap Innâ Lillâhi Wa Innâ Ilaihi Râji’ûn, lalu berkata,
“Apa itu, wahai paman –semoga Allah merahmatimu-?.”
“Apakah WC itu milikmu.?” Tanyaku
“Bukan.” Katanya
“Lantas apa alasanmu mengeluarkan orang-orang darinya.? Sepertinya dengan tindakanmu itu, engkau ingin mengangkat dirimu di atas mereka dan menjadikan kedudukanmu berada di atas kedudukan mereka. Kemudian engkau juga menyakiti si penunggu WC ini dengan tidak mengabaikan upah hariannya dan membuat orang yang datang ke mari pulang sia-sia.” Kataku lagi
Dia berkata, “Adapun mengenai penunggu WC ini, maka aku sudah membuatnya rela dengan memberikan upah hariannya.”
“Ini namanya pengeluaran foya-foya yang dicampuri oleh kesombongan. Apa sih yang membuatmu enggan masuk WC bersama orang-orang padahal engkau sama saja dengan salah seorang dari mereka.?” Kataku “Yang membuatku enggan hanyalah polah beberapa orang-orang tak beres yang masuk WC tanpa penghalang sehingga kau tidak suka melihat aurat-aurat mereka itu. Demikian pula, aku tidak suka memaksa mereka mengenakan penghalang sehingga hal ini bisa mereka anggap sebagai campur tanganku terhadap mereka dengan menggunakan kewenangan penguasa yang aku bermohon kepada Allah agar kita terhindar darinya. Karena itu, tolong nasehati aku –semoga Allah merahmatimu- sehingga berguna bagiku dan carilah solusi dari permasalahan ini!” Jawabnya.
Aku berkata,
“Tunggulah dulu hingga orang-orang keluar dari WC pada malam hari dan kembali ke rumah-rumah mereka, lalu masuklah.!”
“Kalau begitu, aku berjanji. Aku tidak akan masuk selama-lamanya pada siang hari semenjak hari ini dan andaikata bukan karena begitu dinginnya temperatur di negeri ini (sehingga selalu ingin buang hajat-red.,), tentu aku tidak akan masuk ke WC itu selama-lamanya.” Katanya
Dia berhenti sejenak seakan memikirkan sesuatu, kemudian mengangkat kepalanya menoleh ke arahku sembari berkata,
“Aku bersumpah di hadapanmu, tolong dengan sangat engkau simpan rahasia ini sehingga tidak didengar ayahandaku, sebab aku tidak suka dia masih marah padaku. Aku khawatir bila datang ajal sementara tidak mendapatkan keridlaan beliau.”
Maimun berkata,
“Lalu aku berniat ingin mengetesnya seberapa jauh ke dalaman akalnya, seraya berkata kepadanya, ‘Jika Amirul Mukminin (‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ayahandanya) bertanya kepadaku, apakah aku melihat sesuatu darimu, apakah engkau tega aku berdusta terhadapnya?.”
“Tidak. Ma’adzallâh, akan tetapi katakan padanya, ‘aku telah melihat sesuatu darinya lantas aku nasehati dia, aku jadikan hal itu sebagai perkara besar di hadapan matanya lalu dia cepat-cepat sadar.’ Setelah itu, ayahandaku pasti tidak akan menanyakanmu untuk menyingkap hal-hal yang tidak engkau tampakkan padanya. Sebab, Allah Ta’ala juga melindunginya dari mencari hal-hal yang masih terselubung.” Jawabnya
Maimun berkata, “Sungguh, aku belum pernah sama sekali melihat seorang anak dan ayah seperti mereka berdua –semoga Allah merahmati keduanya-.“
Semoga Allah meridlai khalifah ar-Rasyid kelima, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, menyejukkan kuburannya dan kuburan putra serta buah hatinya, ‘‘Abdul Malik.
Keselamatanlah bagi keduanya pada hari bertemu dengan Allah Ta’ala, ar-Rafîq al-A’la.
Keselamatanlah bagi keduanya pada hari dibangkitkan bersama orang-orang pilihan dan ahli kebajikan.

Abu Darda’

0 komentar

Abu Darda’



“Abu Darda’ menolak dunia dengan dua telapak tangan dan dadanya.”
(Abdurrahman bin Auf)
Uwaimir bin Malik al-Khazraji atau yang sering dipanggil Abu Darda’ bangun tidur lebih awal. Dia pergi menuju patungnya yang dia letakkan di tempat yang paling mulia di rumahnya.
Uwaimir mengucapkan selamat dan mengolesinya dengan minyak wangi yang paling mahal yang dia miliki di toko minyak wanginya. Dia juga memakaikan pada patungnya baju baru dari sutra yang paling mewah. Baju sutra yang baru itu hasil hadiah dari salah seorang pedagang dari Yaman yang datang padanya.
Ketika matahari sudah agak tinggi, Abu Darda’ meninggalkan rumahnya pergi menuju tokonya.
Dalam perjalanan menuju Makkah, ternyata jalan-jalan sudah dipenuhi dengan para pengikut Muhammad yang kembali dari medan Badr. Di depan mereka terdapat tawanan dari bangsa Quraisy. Abu Darda’ ingin menghindari rombongan kaum muslimin, namun langkahnya terhenti oleh seorang pemuda dari suku Khazraj. Abu Darda’ bertanya pada orang tersebut tentang Abdullah bin Rawahah.
Pemuda Khazraj berkata kepada Abu Darda’, “Dalam peperangan tadi, Abdullah bin Rawahah, mendapatkan perlawanan yang sangat sengit, namun dia kembali dalam keadaan menang, dan mendapatkan rampasan perang.”Abu Darda’ senang dengan jawaban tersebut.
Pemuda Khazraj itu tidak heran dengan pertanyaan Abu Darda’ tentang Abdullah bin Rawahah, karena semua orang sudah mengetahui tali persaudaraan antara keduanya. Abu Darda’ dan Abdullah bin Rawahah adalah dua saudara di masa jahiliyyah. Namun ketika datang agama Islam, Abdullah bin Rawahah menyambutnya dengan baik dan masuk Islam, sedangkan Abu Darda’ enggan masuk Islam.
Namun ternyata perbedaan itu tidak memutuskan tali persaudaraan mereka yang kuat. Abdullah bin Rawahah sering berkunjung ke rumah Abu Darda’ dan menawarkan islam padanya dan juga membujuknya untuk masuk Islam dan menyayangkan umur yang dia lewati jika dia dalam keadaan musyrik.
****
Abu Darda’ sampai di tokonya. Dia duduk di kursinya yang tinggi. Mulailah dia melakukan jual beli, dan memerintah serta melarang budaknya.
Abu Darda’ tidak sedikitpun mengetahui sesuatu yang terjadi di rumahnya. Pada waktu itu Abdullah bin Rawahah pergi ke rumah Abu Darda’ dan berniat melaksakan sebuah rencana.
Ketika Abdullah bin Rawahah sampai di rumahnya, dia melihat rumahnya terbuka dan Ummu Darda’ berada di halaman rumah.
Abdullah bin Rawahah berkata, “Assalamu’alaikum, wahai hamba Allah.”
Ummu Darda’ menjawab, “Wa’alaikumsalam, wahai saudara Abu Darda’.”
Abdullah bin Rawahah bertanya, “Di mana Abu Darda’?”
Ummu Darda’berkata, “Dia pergi ke tokonya, nanti dia akan kembali.”
Abdullah bin Rawahah bertanya, “Apakah engkau mengizinkanku masuk?”
Ummu Darda’ menjawab, “Silahkan, selamat datang di rumahku.” Lalu Ummu Darda’ mempersilahkannya masuk. Ummu Darda’ pergi ke kamarnya. Dia sibuk menyelesaikan urusan rumahnya dan mengurusi anaknya.
Abdullah bin Rawahah masuk ke dalam kamar tempat diletakkannya patung di dalam rumahnya. Ia mengeluarkan kapak yang dia bawa. Lalu dia mendekat ke patung tersebut seraya memotong-motongnya. Abdullah berkata, “Ketahuilah bahwa sesuatu yang disembah selain Allah adalah batil (keliru)….sesuatu yang disembah selain Allah adalaah batil.” Setelah selesai memotong-motongnya Abdullah bin Rawahah meninggalkan rumah Abu Darda’.
****
Ummu Darda’ masuk ke dalam kamar yang terdapat patungnya. Dia sangat kaget ketika melihat patungnya terpotong-potong, anggota tubunya terpotong secara terpisah di atas tanah. Ummu Darda’ menampari pipinya seraya berkata, “Sungguh engkau telah mencelakakanku wahai Abdullah bin Rawahah…. Sungguh engkau telah mencelakakanku wahai Abdullah bin Rawahah”
Tidak berselang lama pulanglah Abu Darda’ dari tokonya. Dia  melihat istrinya menangis dengan suara keras dalam keadaan duduk di pintu kamar yang terdapat patungnya.  Tanda-tanda kekhawatiran terpancar dari wajahnya.
Abu Darda’ bertanya, “Ada apa dengamu?”
Ummu Darda’ menjawab, “Ketika engkau tidak ada, saudaramu Abdullah bin Rawahah datang dan menghancurkan patung itu sebagaimana yang engkau lihat.” Abu Darda’ memandangi patungnya yang sudah hancur berkeping-keping. Api kemarahan menyala dalam dirinya. Dia bertekad untuk membalas dendam pada Abdullah bin Rawahah. Namun ia berfikir sejenak dan berkata, “Jika patung ini benar-benar tuhan, niscaya dia mampu menolak musibah yang menimpanya.”
Seketika itu juga dia pergi ke rumah Abdullah bin Rawahah. Lalu keduanya pergi bersama-sama ke rumah Rasulullah `, dia mengikrarkan keislamannya pada beliau. Abu Darda’ adalah orang yang paling akhir dalam memeluk Islam.
Abu Darda’ beriman sejak pertama kepada Allah dan RasulNya dengan keimanan yang dapat merubah kebiasaannya. Dia sangat menyesal sekali dengan kebaikan yang telah lama terlewatkan.
Dia berhasil mencapai apa yang lebih dulu dicapai oleh sahabatnya yang lebih dahulu masuk Islam dalam hal memahami agama islam, menghafal Qur’an, beribadah dan bertakwa yang mereka simpan di sisi Allah.
Abu Darda’ bertekad untuk menyusul hal-hal yang telah terlewatkan dengan penuh kesungguhan. Dia bertekad untuk menyambung keletihan malam dengan keletihan siang agar dapat menyusul ‘para pengendara’ lain dan sejajar dengan mereka.
Dia berusaha terus gigih beribadah laksana para orang yang sudah tidak memikirkan dunia. Terus mencari ilmu seperti orang yang sangat kehausan. Abu Darda’ selalu menekuni al-Qur’an, menghafal ayatnya dan menyelami kandungan ayat-ayatnya.
Ketika Abu Darda merasa perdagangannya selama ini mengganggu kenikmatannya dalam beribadah dan menyebabkannya tertinggal dari majlis ilmu, dia meninggalkan perdagangannya tanpa rasa ragu.
Ada salah seorang yang bertanya tentang sikapnya itu. Namun Abu Darda’ menjawab, “Dulu aku berdagang sebelum aku bertemu dengan Rasulullah. Ketika aku memeluk islam, aku ingin menyatukan antara dagang dan ibadah. Namun hal itu tidak bisa aku lakukan. Akhirnya aku meninggalkan perdagangan dan mementingkan ibadah. Demi Dzat Yang menggenggam nyawaku, alangkah bahagianya aku jika aku mempunyai toko di sebelah pintu masjid  hingga aku tidak tertinggal shalat Jama’ah di masjid. Setelah itu aku berjual beli hingga aku mendapatkan laba hingga 300 dinar.”
Abu Darda’ menoleh kepada orang yang bertanya tersebut, “Demi Allah, aku tidak mengatakan bahwa Allah mengharamkan jual beli. Namun aku tidak ingin masuk dalam golongan orang-orang tertipu dari perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah.”
Abu Darda’ tidak hanya meninggalkan perdagangan saja namun dia juga meninggalkan kemewahan dan kemilau dunia. Dia hanya bertumpu pada beberapa suap makanan yang kasar dan memakai baju yang murahan untuk menutupi tubuhnya.
Pada suatu malam yang sangat dingin ada sekumpulan orang yang berkunjung ke rumahnya. Abu Darda’ hanya menghidangkan makanan yang kasar untuk mereka dan tidak menyediakan selimut. Ketika para tamu itu hendak tidur, mereka berunding tentang masalah selimut. Salah seorang dari mereka berkata, “Aku akan menemui Abu Darda’ dan mengatakan masalah ini.” Sedangkan yang  lainnya berkata, “Kita terima saja seperti ini.” Namun orang tersebut enggan. Dia pergi ke kamar Abu Darda’. Ketika dia sampai di pintu kamarnya ternyata Abu Darda’ sudah berbaring. Sedangkan istrinya duduk di dekatnya. Keduanya hanya memakai baju yang tipis, tidak bisa melindungi dari panas dan tidak bisa menahan udara dingin.
Orang tersebut berkata kepada Abu Darda’, “Aku melihatmu tidur sebagaimana kondisi kami. Di manakah perlengkapan rumah kalian?”
Abu Darda’ menjawab, “Kami mempunyai rumah yang terletak disana. Setiap kali kami memperoleh rizki, kami selalu mengirimkan perlengkapan rumah ke sana setiap kali kami mendapatkan keuntungan.  Seandainya kami masih mempunyai sisa perlengkapan rumah, niscaya akan kami berikan kepada kalian. Jalan menuju rumahku yang ‘di sana sangatlah terjal dan susah. Orang yang meringankan bebannya di sana lebih baik daripada orang yang memberatkannya. Kami ingin meringankan beban kami agar kami sampai di rumah kami ‘di sana.”
Abu Darda’ meyakinkan orang tersebut. “Apakah kamu faham dengan maksudku?”
Orang itu menjawab, “Iya, aku faham. Semoga Allah membalas kebaikan padamu.”
****
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, Abu Darda’ diminta untuk menjadi gubernur Syam, namun dia enggan. Khalifah Umar terus mendesaknya. Abu Darda’ berkata, “Jika engkau merelakanku untuk pergi kepada mereka sebagai pengajar al-Qur’an dan sunnah nabiNya serta menjadi imam mereka, maka aku akan pergi.” Umar mengabulkan permintaan Abu Darda’. Akhirnya Abu Darda’ pergi ke Damaskus. Sesampainya di Damaskus dia mendapati semua orang terbuai dalam kemewahan dunia, mereka terjerumus ke dalam kenikmatan. Abu Darda’ khawatir dengan keadaan itu. Akhirnya dia menyeru manusia untuk pergi ke masjid dan berkumpul dengannya. Abu Darda’ berdiri di tengah-tengah mereka seraya berkata,
“Wahai penduduk Damaskus, kalian adalah saudaraku seagama. Kalian adalah tetanggaku, kalian adalah penolongku dalam menghadapi musuh. Wahai penduduk Damaskus, apa yang menghalangi kalian untuk mengasihiku serta menerima nasehatku, padahal sedikitpun aku tidak mengharapkan balasan dari kalian. Nasehatku untuk kalian, sedangkan kebutuhanku telah dicukupi oleh orang selain kalian. Mengapa orang-orang bodoh di antara kalian tidak belajar sedangkan para ulama’ telah wafat?”
“Mengapa kalian meninggalkan apa yang diperintah Allah, padahal Allah telah mencukupi semua kebutuhan kalian?! Mengapa kalian mengumpulkan harta yang tidak kalian butuhkan untuk makan? Mengapa kalian membangun rumah yang tidak kalian butuhkan untuk ditinggali? Mengapa kalian mengkhayalkan sesuatu yang tidak mungkin kalian capai? Sebelum kalian ada banyak sekali kaum yang mengumpulkan harta dan mempunyai khayalan-khayalan namun tidak lama setelah itu akhirnya mereka binasa bersama dengan yang mereka kumpulkan. Khayalan mereka tidak tercapai dan rumah-rumah mereka menjadi kuburan.“
“Wahai penduduk Damaskus, lihatlah kaum ‘Ad yang memenuhi dunia dengan harta dan anak mereka. Siapa di antara kalian yang membeli peninggalan ‘Ad dariku dengan dua dirham?”
Akhirnya semua penduduk Damaskus menangis hingga suara tangisan mereka terdengar hingga keluar masjid.”
****
Sejak saat itulah Abu Darda’ selalu mengisi majlis-majlis di Damaskus serta berkeliling ke pasar-pasar mereka. Dia menjawab pertanyaan tiap orang yang bertanya, mengajari orang-orang yang bodoh dan memberi peringatan kepada orang-orang yang lalai.  Abu Darda’ selalu menggunakan kesempatan yang ada. Dan memberi manfaat di setiap acara.
Pada suatu hari Abu Darda’ melewati sekumpulan orang yang menghajar seorang laki-laki. Mereka memukulinya dan mengumpatnya. Abu Darda’ menghadap mereka dan bertanya, “Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Ada seorang laki-laki yang melakukan dosa besar.”
Abu Darda’ bertanya, “Bagimana pendapat kalian jika kalian melihat ada orang yang masuk ke dalam sumur. Bukankah kalian akan mengeluarkannya dari sumur itu?”
Mereka menjawab, “Iya, kami akan mengeluarkannya.”
Abu Darda’ berkata, “Kalau begitu, jangan kalian hajar dia, namun berilah peringatan padanya dan tunjukilah jalan yang benar. Ucapkanlah syukur kepada Allah yang membuat kalian tidak terjerumus dalam dosa yang dia lakukan.”
Mereka bertanya pada Abu Darda’, “Apakah engkau tidak membencinya?”
Abu Darda’ menjawab, “Aku hanya membenci perbuatan dosanya. Jika dia meninggalkannya maka dia adalah saudaraku.”
Pemuda yang melakukan dosa itu akhirnya menangis dan mengikrarkan taubatnya.
****
Pada suatu hari ada seorang laki-laki yang menghadap Abu Darda’. Dia berkata, “Wahai sahabat Rasulullah, berilah wasiat kepadaku.”
Abu Darda’ berkata kepadanya, “Wahai anakku, ingatlah Allah ketika engkau dalam keadaan bahagia, niscaya Allah akan mengingatmu di kala engkau sengsara. Wahai anakku, jadilah engkau orang yang belajar, atau mengajar, atau mendengarkan. Janganlah engkau menjadi orang yang keempat (orang yang bodoh), karena engkau akan binasa. Wahai anakku, jadikanlah masjid sebagai rumahmu. Karena aku mendengar Rasulullah bersabda, “Masjid-masjid adalah rumah orang yang bertakwa.” Allah kmenjanjikan kelonggaran dan rahmat kepada orang-orang yang menajdikan masjid sebagai rumah, dan juga akan memudahkan mereka untuk melewati shirotol mustaqim menuju ridl  Allah k.
****
Pada suatu hari ada sekelompok pemuda yang duduk-duduk di jalan. Mereka berbincang-bincang sembari menyaksikan orang-orang yang berjalan. Abu Darda’ menemui mereka dan berkata, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya tempat ibadah bagi seorang muslim adalah rumahnya. Karena di dalam rumah dapat menahan dirinya dan menahan pandangannya. Janganlah kalian duduk-duduk di pasar, karena hal itu akan melalaikan kalian dan membuat kalian melakukan hal yang sia-sia.
****
Ketika Abu Darda’ masih tinggal di Damaskus, gubernurnya yang bernama Muawiyah bin Abu Sufyan. mengutus utusan untuk melamar putri Abi Darda’ untuk anaknya yang bernama Yazid. Namun Abu Darda’ tidak mau menikahkan putrinya dengan Yazid. Abu Darda’ justru menikahkannya dengan orang biasa yang beragama dan berakhlak baik.
Hal itu ternyata menjadi pembicaraan manusia. Mereka mengatakan, “Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan meminang putri Abu Darda’ namun Abu Darda’ menolak pinangannya malah menikahkan putrinya dengan laki-laki biasa dari kalangan kaum muslimin. “
Ada salah seorang yang bertanya kepada Abu Darda’ tentang alasannya. Abu Darda’ menjawab, “Aku melakukan perbuatanku itu karena aku lebih mementingkan kemaslahatan Darda’.”
Penanya itu bertanya, “Bagaimana bisa begitu?”
Abu Darda’ menjawab, “Bagaimana pendapatmu jika Darda’ kelak mempunyai budak-budak yang melayaninya. Darda’ akan terlenakan dengan megahnya istana yang dia tinggali. Pada waktu itu dimanakah dia meletakkan agamanya?”
****
Ketika Abu Darda’ masih tinggal di Damaskus, datanglah khalifah Umar untuk mencari tahu keadaannya. Umar mengunjungi rumah sahabatnya, Abu Darda’ di malam hari. Umar mendorong pintunya, ternyata pintu rumahnya tidak ada gemboknya. Akhirnya Umar masuk ke dalam rumahnya yang sangat gelap dan tidak ada cahayanya sedikitpun. Ketika Abu Darda’ mendengar suara orang yang datang kepadanya, dia langsung bangun. Dia menyambutnya dan mempersilahkannya duduk.
Keduanya saling berbincang dan bertukar pengalaman. Sedangkan gelapnya malam kala itu menghalangi pandangan kedua mata mereka. Umar meraba bantal Abu Darda’ ternyata bantalnya hanyalah kain tipis yang biasa dipakai di atas kendaraan. Ketika Umar meraba kasurnya, ternyata hanya tumpukan kerikil. Ketika Umar meraba selimutnya, ternyata selimutnya hanyalah kain tipis yang  tidak sedikitpun dapat menahan cuaca dingin di Damaskus.
Umar bertanya kepada Abu Darda’, “Semoga Allah menyayangimu, bukankah aku telah mengirimkan harta untukmu?”
Abu Darda’ menjawab, “Wahai Umar, tidakkah engkau ingat hadis Rasulullah kepada kita?”
Umar bertanya, “Apa itu?”
Abu Darda’ menjawab, “Hendaklah harta seseorang di dunia hanyalah seperti perbekalan seorang musafir.”
Umar menjawab, “Iya, aku ingat.”
Abu Darda’ menjawab, “Lalu apa yang harus kita lakukan setelah kita mendengar hadis itu?”
Akhirnya Umar dan Abu Darda’ menangis bersam-sama. Keduanya menangis hingga tiba waktu subuh.
****
Selama tinggal di Damaskus Abu Darda’ selalu memberikan nasehat  pada penduduk Damaskus. Mengajari mereka al-Qur’an dan hikmah hingga ajal datang menjemputnya. Ketika Abu Darda’  menderita sakit yang menghantarkannya pada kematian para sahabatnya menemuinya.
Mereka bertanya, “Apa yang engkau keluhkan?”
Abu Darda’ menjawab, “Aku mengeluhkan dosa-dosaku.”
Mereka bertanya, “Apa yang engkau inginkan?”
Abu Darda’ menjawab, “Yang aku inginkan adalah ampunan Tuhanku.”
Lalu Abu Darda’ berkata kepada orang yang disampingnya, “Talkinlah aku kalimat Lâ ilâha illallah Muhammadur Rasulullah.” Abu Darda’ terus mengulang-ulang kalimat itu hingga ajal datang menjemputnya.
Ketika Abu Darda’ meninggal Auf bin Abdul Malik al-Asyja’i melihat tanah lapang yang hijau, sangat luas dan bertumbuh-tumbuhan hijau. Di dalam tanah tersebut terdapat tenda besar dari kulit, di sekelilingnya terdapat kambing-kambing yang sedang menderum. Pemandangannya sama sekali belum pernah terlihat mata.”
Auf bin Abdul Malik bertanya, “Milik siapakah ini?” lalu ada orang yang berkata, “Itu milik Abdurrahman bin Auf.”
Lalu Abdurrahman bin Auf keluar dari tendan dan berkata, “Wahai Ibnu Malik, ini adalah pemberian Allah kepada kami karena al-Qur’an. Jika engkau menghadapkan ini ke jalan pasti engkau akan melihat sesuatu yang belum terlihat oleh mata, engkau akan mendengar apa yang belum pernah engkau dengar, engkau akan menemukan sesuatu  yang belum pernah terlintas dalam hatimu.”
Ibnu Malik bertanya, “Untuk siapakah itu semua wahai Abdurrahman bin Auf?” Abdurrahman bin Auf menjawab, “Allah menyiapkannya untuk Abu Darda’ karena dia menolak dunia dengan dua telapak tangan dan dadanya.”