Sabtu, 11 Juni 2011

Sa’id bin Zaid

0 komentar

Sa’id bin Zaid

“Ya Allah, jika Engkau mencegahku dari kebaikan ini, janganlah Engkau mencegah anakku, Said dari kebaikan ini.”
Zaid bin Amir bin Nufail berdiri jauh dari keramaian manusia. Dia menyaksikan hari raya Orang Quraisy yang berbeda dengan hari rayanya. Dia melihat ada orang yang memakai surban yang sangat mahal di kepala mereka.  Mereka saling membangga-banggakan pakaian-pakaian mereka dari Yaman yang sangat mahal. Dia juga menyaksikan para wanita dan anak-anak mengenakan baju dan sutra yang sangat indah dan berharga.
Zaid juga menyaksikan hewan-hewan ternak yang dihias dengan berbagai hiasan digiring oleh para tawanan, hewan-hewan ternak itu akan disembelih dan dijadikan persembahan untuk tuhan mereka.
Zaid berdiri menyandarkan punggungnya ke dinding Ka’bah. Dia berkata,
“Wahai orang-orang Quraisy, kambing itu diciptakan oleh Allah. Dialah Yang menciptakan hujan kemudian kambing kalian menjadi kenyang dengan turunnya hujan. Dari air hujan tumbuhlah rerumputan yang dimakan oleh hewan kalian hingga kenyang. Namun setelah itu kalian menyembelihnya untuk selain Allah. Sungguh aku melihat bahwa kalian adalah kaum yang bodoh.”
Hal itu memancing kemarahan Khattab, ayah Umar bin Khattab. Dia berdiri dan memukulnya kemudian berkata, “Celakalah kamu! Kami tahan kesabaran kami mengucapkan perkataan bodoh itu, dan ketika kau mengatakan hal ini kesabaran kami hilang.” Khattab memprovokasi orang-orang bodoh di antara kaumnya. Akhirnya mereka menyiksa Zaid dan terus menyiksanya hingga membawanya ke gunung hira’. Khattab menyerahkan Zaid kepada pemuda dari Quraisy. Khattab memerintahkan mereka agar menghalang-halangi Zaid untuk masuk ke Makkah. Namun Zaid berhasil masuk ke Makkah secara sembunyi-sembunyi.
Ketika orang Quraisy lengah Zaid pergi berkumpul dengan sahabatnya, di antara mereka adalah  Waraqah bin Naufal, Abdullah bin Jahsy, Utsman bin Haris,   Umaimah binti Abdul Muthalib,  bibi Muhammad bin Abdillah. Mereka membahas kesesatan yang terjadi di kalangan penduduk Arab. Zaid berkata kepada para sahabatnya, “Demi Allah, sungguh kalian tahu bahwa kaum kalian berada dalam kesia-siaan. Mereka menyimpang dan menyelisihi agama nabi Ibrahim. Oleh karena itu carilah agama yang benar untuk kalian jika kalian menginginkan keberuntungan.
Akhirnya empat orang tersebut berpencar pergi ke rumah para rahib dari kalangan Yahudi maupun Nasrani yang masih berpegang teguh dengan agama nabi Ibrahim maupun agama lain. Mereka mencari agama yang hanif (lurus), yaitu agama nabi Ibrahim.
Sedangkan Waraqah bin Naufal akhirnya masuk ke dalam agama Nasrani. Sedangkan Abdullah bin Jahsy dan Said bin Zaid tidak memeluk satu agamapun.
Said bin Zaid bin Naufal memiliki kisah tersendiri. Kita simak bersama penuturan langsung darinya. Said bercerita,
Aku pergi menghadap orang Yahudi dan Nasrarni, namun aku berpaling dari mereka karena aku tidak mendapatkan ketenangan di sana. Aku pergi ke penjuru manapun untuk mencari agama Ibrahim, hingga aku pergi ke negeri Syam. Aku teringat dengan salah seorang rahib yang mempunyai ilmu tentang kitab. Aku mendatanginya dan menceritakan masalahku kepadanya. Rahib itu berkata, “Wahai orang Makkah, aku melihat engkau sedang mencari agama Ibrahim?” Aku menjawab, “Betul, itu yang aku inginkan.” Rahib berkata, “Sungguh engkau sedang mencari agama yang saat ini sudah tidak ada. Namun kembalilah engkau ke negerimu, karena Allah mengutus seorang nabi dari negerimu yang akan memperbarui agama Ibrahim. Jika engkau bertemu dengannya maka bergurulah engkau darinya!”
Akhirnya Zaid kembali ke Makkah melangkahkan kakinya untuk mencari nabi yang ditunggu-tunggu.
Di tengah perjalanannya Allah mengutus nabi Muhammad sebagai RasulNya dengan membawa petunjuk dan kebenaran. Namun Zaid tidak menjumpainya, karena ketika dalam tengah perjalanan tiba-tiba ada sekumpulan orang arab yang membunuhnya sebelum dia sampai ke Makkah. Tampak kesedihan di dua matanya karena ingin melihat Rasulullah Saw.
Ketika Zaid menghembuskan nafasnya yang terakhir, dia mengangkat wajahnya menghadap langit seraya berdoa, “Ya Allah, meskipun Engkau menghalangiku dari kebaikan ini, namun janganlah engkau menghalangi putraku darinya.”
****
Rupanya Allah berkehendak untuk mengabulkan doa Zaid. Ketika Rasulullah menyeru manusia untuk masuk ke dalam agama Islam, putranya Said bin Zaid termasuk di kalangan orang-orang yang beriman kepada Allah dan beriman dengan risalah yang dibawa oleh nabi Muhammad.
Hal itu tidak mengherankan, karena Said hidup di tengah keluarga yang tidak setuju dengan kesesatan kafir Quraisy. Said dididik di pangkuan seorang ayah yang hidup dalam keadaan mencari kebenaran. Ayahnya meninggal dalam keadaan berlari terengah-engah  mencari kebenaran.
Said tidak sendirian ketika beriman. Namun dia bersama istrinya, Fatimah binti Khattab,  saudari kandung Umar bin Khattab.
Pemuda Quraisy yang bernama Sa’id menghadapi siksaan kaumnya yang membuatnya pantas untuk meninggalkan islam, karena dahsyatnya siksaan tersebut. Namun dibalik pedihnya siksaan kaum Quraisy kepadanya untuk meninggalkan agama islam, ternyata dia dan istrinya berhasil menarik laki-laki dari Quraisy yang paling kuat, paling diperhitungkan, dan paling berbahaya. Ya, ternyata keduanya berhasil menjadi sebab masuk islamnya Umar bin Khattab.
Said bin Zaid bin Nufail menggunakan segenap tenaga mudanya untuk berkhidmat kepada Islam. Karena dia masuk islam dalam usia belum mencapai 20 tahun. Dia ikut serta dalam semua peperangan kecuali perang Badar. Said tidak ikut perang Badar karena suatu tugas yang dibebankan Rasulullah Saw. kepadanya.
Said juga turut serta dengan kaum musilmin dalam menggetarkan singgasana Kisra, dan menghancurkan kerajaan Kaisar Romawi. Di setiap pertempuran bersama dengan kaum muslimin Said mempunyai sikap yang mulia dan kokoh.
Barangkali kepahlawanannya yang paling menakjubkan adalah ketika berada dalam perang Yarmuk. Kita simak langsung setiap kisahnya langsung dari Said bin Zaid. Dia berkata,
Ketika dalam perang Yarmuk, jumlah kaum muslimin kurang lebih 24.000 pasukan. Sedangkan pasukan Romawi mengerahkan 120.000 pasukan. Mereka menghadang kami dengan langkah yang sangat berat. Seakan-akan mereka adalah gunung yang digerakkan oleh tangan yang tidak nampak. Para Uskup, kepala uskup dan para pendeta berada di depan mereka dengan membawa salib dan mereka membaca nyanyian-nyanyian. Di belakangnya para pasukan Romawi menirukan mereka dengan keras laksana suara gemuruh.
Ketika kaum muslimin melihat kondisi mereka, kaum muslimin kaget dan bingung dengan jumlah mereka yang banyak. Dalam hati mereka sedikit tercampur rasa takut.
Pada waktu itulah Abu Ubaidah bin al-Jarrah menghasung kaum muslimin untuk maju berperang. Dia berkata, “Wahai hamba-hamba Allah, tolonglah agama Allah, niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan langkah kalian. Wahai hamba-hamba Allah, bersabarlah, karena kesabaran itu lebih baik daripada kekufuran dan merupakan perbuatan yang diridloi Allah. Sabar adalah penghilang aib. Lemparkanlah tombak-tombak kalian dan berlindunglah dengan perisai kalian. Diamlah kalian kecuali hanya untuk menyebut nama Allah Azza wa Jalla di dalam diri kalian. Dan aku akan menjadi pemimpin kalian, jika Allah menghendaki!”
Said berkata, “Pada waktu itu keluarlah seseorang dari barisan dan berkata kepada Abu Ubaidah, “Aku bertekad untuk meninggal saat ini. Apakah engkau mempunyai surat untuk kau kirimkan kepada Rasulullah?”
Abu Ubaidah menjawab, “Ya, aku mempunyai surat, engkau membacakannya dariku dan dari kaum muslimin, engkau berkata dalam surat itu, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mendapati bahwa yang dijanjikan oleh Rabb kami adalah benar.”
Said berkata, “Setelah aku mendengar perkataannya aku melihat dia menghunus pedangnya yang tajam, kemudian berlari menghadap musuh-musuh Allah. Hingga aku langsung tiarap ke atas tanah, kemudian aku berdiri di atas lututku. Aku mengeluarkan tombakku dan melemparkannya hingga mengenai pasukan berkuda yang pertama kali menghadapku. Setelah itu aku melompat ke barisan musuh. Dan ternyata Allah telah mencabut rasa takut yang hinggap dalam hatiku. Semua manusia bertebaran di depan pasukan Romawi. Kaum muslimin terus menyerang mereka hingga Allah mengaruniakan kemenangan untuk kaum muslimin.
****
Setelah itu Said bin Zaid menyaksikan penaklukan kota Damaskus. Ketika Damaskus berhasil ditaklukkan, Abu Ubaidah bin al-Jarrah menjadikannya sebagai gubernur Damaskus. Said bin Zaid adalah orang yang pertama kali menjadi memegang tampuk kekuasaan di Damaskus dari kalangan kaum muslimin.
****
Sedangkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah, terjadi sebuah peristiwa yang menimpa Zaid. Peristiwa itu selalu dibicarakan oleh penduduk Madinah dalam kurun waktu yang lama.
Peristiwa tersebut bermula ketika Arwa binti Uwais mengaku bahwa Said bin Zaid telah merampas tanahnya dan menjadikan tanah tersebut sebagai milknya. Berita simpang siur itu menjadi perbincangan di kalangan kaum muslimin.
Akhirnya mereka mengadukan perkara itu kepada Marwan bin Hakam, Gubernur Madinah. Marwan mengirimkan beberapa orang untuk menasehati Said bin Zaid dalam masalah tersebut. Akhirnya masalah yang sangat runyam itu semakin membuat sahabat Rasulullah ini tersudutkan.
Said bin Zaid berkata, “Kalian menganggap bahwa aku telah berbuat zalim padanya?! Bagaimana mungkin aku berbuat zalim padanya, padahal aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang mencuri sejengkal tanah, maka kelak Allah akan menggantukan tujuh tanah di bumi di lehernya.”
Said kembali berkata, “Ya Allah, perempuan itu mengaku bahwa aku berbuat zalim padanya. Jika perempuan itu berdusta, maka butakanlah matanya dan masukkanlah dia ke dalam sumurnya yang menjadi perselisihan di antara kami. Nampakkanlah cahaya kebenaran pada tubuhku untuk menerangkan kaum muslimin bahwa aku tidak menzaliminya.”
Tidak berselang lama setelah Said mengucapkan doa tersebut, mengalirlah banjir bah dari gunung ‘Aqiq. Banjir seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya.  Akhirnya tersingkaplah kebenaran dalam masalah tersebut. Kaum muslimin mengetahui bahwa Sa’id adalah benar.
Sebulan setelah peristiwa itu, perempuan tersebut mengalami kebutaan pada  matanya. Ketika dia berputar di tanahnya tersebut, dia terpeleset hingga masuk ke dalam sumurnya.
Abdullah bin Umar berkata, “Aku dan beberapa pemuda lain sering mendengar kata-kata, “Semoga Allah membutakanmu sebagaimana Allah membutakan Arwa.”
Peristiwa seperti itu tidak mengherankan, karena Rasulullah Saw. bersabda, “Berhati-hatilah kalian dengan doa orang yang terzalimi, karena antara dirinya dengan Allah tidak ada penghalang sama sekali.”
Apalagi yang dizalimi adalah Said bin Zaid, salah seorang di antara sepuluh orang yang mendapat kabar gembira masuk ke dalam surga?

0 komentar:

Posting Komentar