Sabtu, 11 Juni 2011

Syirik

0 komentar

Awas Syirik !!! ( 2 )


Syirik Akbar
Syirik akbar adalah perbuatan atau keyakinan yang membuat pelakunya keluar dari Islam. Bentuknya ialah dengan memaksudkan salah satu peribadatan (lahir maupun batin) kepada selain Allah, seperti berdoa kepada selain Allah, berkorban untuk jin, dan sebagainya. Apabila ia meninggal dan belum bertaubat maka akan kekal berada di dalam neraka. (lagi…)

Awas Syirik !!! ( 1 )


Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Amma ba’du, sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah. Sebaik-baik jalan adalah jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek urusan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah pasti sesat.

Untaian Aqidah Untuk Mukminin dan Mukminat 2


Pembaca budiman, melanjutkan silsilah keyakinan emas generasi terbaik yang telah ditulis pada bagian terdahulu. Sekarang kita masih menggali faedah-faedah dari perkataan penulis Tsalatsatu Ushul Asy Syaikh Al Imam Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah

Untaian Aqidah Untuk Mukminin dan Mukminat 1


PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, yang masih menyisakan sebagian ahli ilmu di zaman di mana Rasul telah tiada, mereka itulah yang menyeru orang-orang sesat agar mengikuti petunjuk, yang senantiasa bersabar menghadapi gangguan yang menimpa. Mereka jualah yang menghidupkan hati-hati yang mati dengan Kitabullah, mereka berikan pencerahan kepada orang-orang yang telah buta mata hatinya dengan Kitabullah. Betapa banyak orang yang hatinya telah mati dibinasakan iblis kembali hidup hatinya berkat dakwah mereka. Dan betapa banyak orang bodoh dan sesat mendapatkan terangnya hidayah melalui mereka.

AL-ILMU

0 komentar

Istiqomah Dengan Ajaran Islam


Sebagian orang beranggapan, jika umat islam terlalu fanatic dalam menjalankan agama, maka mereka akan menjadi jumud, terbelakang dan tidak akan mampu bersaing dengan perkembangan dunia yang semakin

Hakekat Mencintai Allah


Mahabbah ( kencintaan ) kepada Allah adalah tujuan akhir dan derajat yang tertinggi. Setelah menggapai mahabbah, sungguh tidak ada lagi tingkatan selain buah dari mahabbah itu sendiri, seperti syauqh ( kerinduan ), uns ( kenyamanan ), dan ridho.tidak ada lagi tingkatan sebelum mahabbah selain pendahuluan menuju kepadanya. Seperti taubat, sabar, zuhud dan syukur serta ibadah – ibadah hati yang lainnya.
Cinta yang paling bermanfaat, yang paling mulia dan yang paling tinggi adalah cinta kepada Dzat yang telah menjadikan hati cinta kepadaNya dan menjadikan seluruh makhluk memiliki fitroh untuk mengEsakanNya. Illah adalah Dzat yang dicenderungi oleh hati dengan kecintaan, pengagungan, pemuliaan, penghinaan diri sendiri dihadapanNya, ketundukan dan peribadatan. Ibadah tidak benar kecuali hanya kepadaNya saja. Ibadah adalah kesempurnaan cinta, ketundukan, dan penghianaan diri.
Allah dicintai bukan karena sesuatu yang lain. Allah dicintai dari berbagai sisi. Segala sesuatu selainNya dicintai dalam rangka cinta kepadaNya. Keharusan mencintaiNya telah ditunjukkan oleh seluruh kitab yang diturunkan dan Rasul yang diutus. Juga oleh fitrah, akal manusia, dan nikmat yang Ia anugerahkan. 

Tawakal Bukan Pasrah


Musibah telah datang menimpa tanah air kita secara silih berganti. Dimulai dari tsunami, gempa bumi, kelaparan, flu burung, lumpur panas, pesawat hilang, kapal tenggelam, angina puting beliung dan angin topan, ini merupakan ujian dari Allah SWT terhadap keimanan seorang muslim. Apakah mereka mampu untuk tegar dan sabar dalam menghadapi semua musibah ini ataupun sebaliknya.

Kedudukan Para Sahabat Rasullullah


Para sahabat Rasulullah saw adalah orang-orang yang telah mendapatkan keridhoan dari Allah ta’ala, mereka telah berjuang bersama Rasulullah saw untuk menegakkan Islam dan mendakwahkannya ke berbagai plosoknegeri, perjuangan mereka dalam rangka Lii’lai kalimatillah, mereka telah berkorban dengan harta dan jiwa.mereka adalah manusia yang sepenuhnya tunduk kepada hukum-hukum Allah SWT. 

Indahnya Surga


Surga adalah sebuah tempat yang akan dimasuki oleh orang-orang beriman bertaqwa dan mau beramal shalih, serta merupakan tempat bagi orang-orang yang dikaruniai oleh Allah. Dari kalangan para Nabi, Shiddiqin, Syuhada” dan orang-orang shali sebagai balasan kemudian di kampung akhirat Surga adalah cita-cita yang sangat mulia yang membuat mata terpesona melihat taman-tamannya, yang dirindukan oleh setiap manusia disetiap tempat dan zaman. Sesungguhnya Surga itu adalah cita-cita yang paling agung bagi seorang mukmin. Memasukinya dan hidup di dalamnya adalah sebuah sebuah harapan yang selalu dipikirkannya sepanjang umurnya, sehingga Surga membuat seseorang segera menuju kebaikan dan kebenaran walaupun di dalam perjalanan menujunya dipenuhi bahaya, kesulitan, pengorbanan, dan penuh duri, bahkan kematian

Abdul Malik bin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz

0 komentar
Abdul Malik bin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
 
Umar bin ‘Abdul ‘Aziz Dan Putranya, ‘Abdul Malik bin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
(Cerminan Keakraban Dan Keharmonisan Antara Ayah Yang Shalih Dan Anak Yang Shalih)
“Tahukah anda bahwa setiap kaum mempunyai orang cerdas, dan orang cerdas Bani Umayyah adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz serta bahwa kelak dia dibangkitkan pada Hari Kiamat seorang diri sebagai umat.?” (Muhammad bin Ali bin al-Husain)
Belum lagi seorang tabi’i yang agung, Amirul mu’minin, ‘‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz membersihkan kedua tangannya dari debu kuburan pendahulunya (yakni, khalifah sebelumnya), Sulaiman bin ‘Abdul Malik, tiba-tiba beliau mendengar suara gemuruh bumi di sekitarnya, lalu beliau berkata, “Apa ini?”
Orang-orang berkata, “Ini adalah kendaraan Khalifah -wahai Amirul mu’minin- telah disiapkan untukmu agar engkau menaikinya.” Lalu Umar melihatnya dengan sebelah mata, kemudian berkata dengan suara gemetar dan terbata-bata karena kelelahan dan kurang tidur, “Apa hubungannya denganku? Jauhkanlah ini dariku, mudah-mudahan Allah memberkati kalian. Dan tolong bawa kemari keledaiku, karena ia sudah cukup bagiku.”
Kemudian belum lagi pas posis duduk beliau di atas punggung keledai hingga datanglah komandan polisi yang berjalan di depannya. Bersamanya sekelompok anak-anak buahnya yang berbaris di sektor kanan dan kirinya. Di tangan-tangan mereka tergenggam tombak yang mengkilat. Lalu beliau menoleh ke arahnya dan berkata, “Aku tidak membutuhkan kamu dan mereka. Aku hanyalah orang biasa dari kalangan kaum muslimin. Aku berjalan pagi hari dan sore hari sama seperti mereka.
Selanjutnya, beliau berjalan dan orang-orang berjalan bersamanya hingga memasuki masjid dan orang-orang dipanggil untuk shalat, “ash-Shalâtu Jami’ah…ash-Shalâtu Jami’ah.”
Maka berdatanganlah orang-orang ke masjid dari segala penjuru. Ketika jumlah mereka telah sempurna, beliau berdiri sebagai khatib. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya serta bershalawat atas nabi, kemudian berkata,
“Wahai manusia, sesungguhnya aku mendapat cobaan dengan urusan ini (khilafah) yang tanpa aku dimintai persetujuan terlebih dahulu, memintanya ataupun dan bermusyawarah dulu dengan kaum muslimin.
Sesungguhnya, aku telah melepaskan baiat yang ada di pundak kalian untukku, untuk selanjutnya kalian pilihlah dari kalangan kalian sendiri seorang khalifah yang kalian ridlai.”
Lantas orang-orangpun berteriak dengan satu suara, “Kami telah memilihmu, wahai Amirul mu’minin dan kami ridla terhadapmu. Maka aturlah urusan kami dengan berkat karunia dan barakah Allah.”
Ketika suara-suara telah senyap dan hati telah tenang, beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya sekali lagi dan bershalawat atas Muhammad, hamba dan utusan Allah.
Beliau mulai menganjurkan orang-orang supaya bertakwa, mengajak mereka supaya berzuhud dari kehidupan dunia, mensugesti mereka kepada kehidupan akhirat dan mengingatkan mereka kepada kematian dengan intonasi yang dapat melunakkan hati yang keras, menjadikan air mata durhaka bercucuran dengan deras dan keluar dari lubuk hati pemiliknya sehingga terpatri di dalam lubuk hati para pendengarnya.
Kemudian beliau meninggikan suaranya yang agak serak supaya semua orang mendengarnya,
“Wahai manusia barangsiapa yang taat kepada Allah, maka dia wajib ditaati. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah, maka tidak seorangpun yang boleh ta’at kepadanya. Wahai manusia, Taatilah aku selama aku menaati Allah dalam menangani urusan kalian. Jika aku bermaksiat kepada Allah, maka kalian tidak usah taat kepadaku.”
Kemudian beliau turun dari mimbar untuk menuju ke rumahnya dan masuk ke kamarnya. Beliau benar-benar ingin mendapatkan sedikit istirahat, setelah kelelahan yang amat sangat, semenjak wafatnya khalifah sebelumnya.
Akan tetapi, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz baru saja mau meletakkan punggungnya di tempat tidurnya, hingga datanglah putranya, ‘‘Abdul Malik yang waktu itu baru menginjak usia tujuh belas tahun. Lalu sang putra berkata, “Apa yang ingin engkau lakukan, wahai Amirul mu’minin?!!” Ayahnya menjawab,
“Wahai anakku, aku ingin tidur sejenak, karena sudah tersisa lagi tenagaku ini.”
“Apakah engkau masih ingin tidur sejenak sebelum mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, wahai Amirul mukminin?!!” kata putranya lagi.
Lalu sang ayah menjawab,
“Wahai anakku, sesungguhnya aku tadi malam bergadang malam (tidak tidur) karena bersama pamanmu Sulaiman. Nanti kalau sudah datang waktu Dzuhur, aku akan shalat bersama orang-orang dan akan dan aku mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi tersebut, insya Allah.”
Sang putra berkata lagi,
“Siapakah yang menjaminmu, wahai Amirul mukminin kalau usiamu hanya sampai Zhuhur?!”
Ucapan ini berhasil membakar semangat Umar dan melenyapkan rasa kantuk dari kedua matanya sehingga membangkitkan kekuatan dan kesegaran badannya yang sebelumnya demikian lelah. Ketik itu berkatalah dia kepada sang putra,
“Mendekatlah kemari wahai putraku.!”
Sang putrapun mendekat dan Umar langsung memeluk serta menciumi keningnya seraya berkata,
“Segala puji bagi Allah yang telah melahirkan dari keturunanku orang yang menolongku di dalam menjalankan agama.”
Kemudian beliau berdiri dan menyuruh supaya di umumkan kepada orang-orang, “barangsiapa yang merasa teraniaya, maka hendaklah dia mengajukan perkaranya.”
Lalu, siapakah ‘Abdul Malik ini?! Bagaiman cerita anak muda ini sehingga menjadi buah bibir orang-orang?
Sungguh, dialah anak yang berhasil mensugesti ayahnya untuk rajin beribadah dan mengarahkannya agar menempuh jalan kezuhudan. Marilah kita telusuri lagi kisah pemuda yang shalih ini dari awalnya.!
Adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mempunyai lima belas orang anak, tiga di antaranya ada tiga perempuan. Anak-anak itu semuanya adalah anak-anak yang memiliki tingkat ketakwaan dan keshalihan yang sangat memadai. Namun ‘Abdul Malik adalah putra paling menonjol di antara saudara-saudaranya dan bintangnya mereka yang bersinar-sinar. Dia seorang anak yang ahli sastra, mahir lagi cerdik sekalipun usia masih muda tetapi cara berpikirnya sudah dewasa.
Di samping itu, dia memang tumbuh sebagai anak yang ta’at kepada Allah sejak mudanya sehingga dialah orang yang tingkah lakunya paling dekat dengan keluarga besar al-Khaththab secara umum serta yang paling mirip dengan ‘Abdulllah bin ‘Umar, khususnya dari sisi ketakwaan kepada Allah, rasa takut berbuat maksiat kepada-Nya serta bertaqarrub kepada-Nya dengan melakukan keta’atan.
Keponakannya Ashim (bin Abu Bakar bin Abdul Aziz bin Marwan, dia adalah anak saudara ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz) bercerita, “Suatu waktu, aku bertandang ke Damaskus lantas mampir di rumah anak pamanku (sepupuku), ‘Abdul Malik. saat itu, dia masih bujangan, lalu kami menunaikan shalat isya’ kemudian masing-masing kami beranjak ke tempat tidur. Lalu ‘Abdul Malik mendekati lampu dan mematikannya sementara masing-masing kami mulai tidur. Kemudian aku bangun pada tengah malam, ternyata ‘Abdul Malik sedang berdiri shalat dengan khusyu’nya seraya membaca firman Allah Azza wa Jalla (artinya),
“Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun. Kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka. Niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.” (Q.s.,asy-Syu’arâ`:205-207)
Tidak ada yang membuatku begitu terkesan kepadanya kecuali saat dia mengulang-ulang ayat tersebut dan menangis dengan tangisan yang tersedu-sedu dari dalam hati (tidak terdengar). setiap kali dia selesai dari ayat itu, dia mengulanginya kembali, sehingga aku berkata dalam hati, “Anak ini bisa mati oleh tangisannya.”
Ketika aku melihatnya seperti itu, aku mendesis,
“Lâ ilâha illallâh wal hamdu lillâh. Seakan ucapan orang yang bangun dari tidur, padahal tujuanku untuk menghentikan tangisannya.
Ketika mendengar suaraku, dia terdiam dan tidak lagi terdengar suara rintihannya tersebut.”
Pemuda dari keluarga besar ‘Umar ini banyak berguru kepada ulama’-ulama’ besar pada zamannya sehingga begitu ‘enjoy’ dengan Kitab Allah, kenyang dengan hadits Rasulullah serta pemahaman terhadap agama.
Sehingga dia menjadi seorang yang dapat berkompetisi dengan para ulama kelas atas (ternama) pada zamanya, sekalipun usianya ketika itu masih sangat muda.
Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah mengumpulkan para Qurra` (ahli baca al-Qur’an) dan ahli fiqih negeri Syam. ketika itu, beliau berkata,
“Sesungguhnya aku memanggil kalian untuk penanganan tindak kezhaliman yang sekarang ada di tangan keluargaku, bagaimana pandangan kalian?
Maka mereka berkata,
“Wahai Amirul mukminin, sesungguhnya hal itu tidak termasuk kawasan wewenang anda. Dosa-dosa atas tindakan kezhaliman tersebut sepenuhnya berada di pundak orang yang mengambilnya secara tidak benar (merampasnya).”
Rupanya beliau belum puas dengan jawaban mereka tersebut, lalu melirik ke arah salah seorang di antara mereka yang tidak sependapat dengan pendapat mereka itu, seraya berkata kepadanya,
“Utuslah orang untuk memanggil ‘Abdul Malik, karena dia tidak lebih rendah ilmunya, pemahaman (fiqih)nya ataupun daya nalarnya dari orang-orang telah yang engkau undang.”
Ketika ‘Abdul Malik menemuinya, Umar berkata kepadanya,
“Bagaimana pendapatmu tentang harta orang-orang yang diambil anak-anak paman kita secara dzalim, sedangkan pemilik-pemiliknya telah datang dan memintanya dan kita telah mengetahui hak mereka pada harta itu?!”
‘Abdul Malik berkata, “Menurutku, hendaknya ayahanda mengembalikan harta itu kepada para pemiliknya selama ayahanda mengetahui permasalahannya. Sebab, jika tidak, berarti ayahanda termasuk kongsi orang-orang yang mengambilnya secara dzalim tersebut.”
Maka lapanglah seluruh rongga-rongga tubuh Umar, jiwanya menjadi lega dan apa yang menghantuinyapun hilang.
Anak muda keturunan Umar ini lebih menyukai “Murabathah” (berjaga-jaga di perbatasan dari serangan musuh) dengan tinggal di salah satu kota yang dekat dengannya ketimbang tetap tinggal di negeri Syam.
Dia tetap berangkat ke sana sementara di belakangnya kota Damaskus yang bertaman indah, naungan yang rimbun dan memiliki tujuh sungai dia tinggalkan begitu saja.
Dalam pada itu, sekalipun sang ayah telah mengetahui keshalehan dan ketakwaan anaknya, beliau masih mengkhawatirkannya dan kasihan kalau-kalau dia bisa luluh oleh godaan syaitan dan gejolak-gejolak masa muda serta begitu antusias untuk mengetahui segala-galanya tentang dirinya tersebut selama dia bisa mengetahuinya. Dan beliau tidak pernah melalaikan hal itu dan tidak pernah mengabaikannya sama sekali.
Maimun bin Mahran, seorang menteri, Qadli sekaligus penasehat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, pernah bercerita,
“Sewaktu menemui ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, aku mendapatinya sedang menulis surat kepada anaknya, ‘Abdul Malik. Dalam suratnya itu, beliau memberikan nasehat, pengarahan, peringatan, berita menakutkan dan gembira.
Di antara isinya adalah, ‘Amma ba’du, sesungguhnya engkaulah orang yang paling pantas untuk menangkap dan memahamai ucapanku. Dan sesungguhnya pula, segala puji bagi Allah, Dia telah berbuat baik kepada kita dari urusan sekecil-kecilnya hingga sebeasar-besarnya. Maka ingatlah karunia Allah kepadamu dan kepada kedua orang tuamu. Janganlah sekali-kali kamu berlaku sombong dan bangga diri, karena hal itu adalah termasuk perbuatan syaitan, sedangkan syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi orang-orang yang beriman. Dan ketahuilah, bahwa aku mengirimkan surat ini, bukan karena ada laporan tentang dirimu sebab aku tidak mengetahui tentangmu kecuali hal yang baik-baik. Namun demikian, telah sampai laporan kepadaku bahwa perihal tindakanmu yang suka berbangga-bangga diri. Seandainya kebanggaan ini menyeretmu kepada sesuatu yang aku benci, tentu kamu mendapatkan telah melihat dariku sesuatu yang kamu benci.
Maimun berkata, “Kemudian Umar menoleh kepadaku seraya berkata, ‘Wahai Maimun, sesungguhnya anakku -’Abdul Malik- telah menghiasi mataku (dikasihi dan tidak ada lagi cacatnya) dan aku menuduh diriku telah melakukan itu. Karenanya, aku khawatir kalau rasa cintaku kepadanya telah melebihi pengetahuanku tentang dirinya sehingga apa yang menimpa nenek moyangku dulu yang buta terhadap aib anak-anaknya menimpa diriku juga. Maka pergilah untuk mengawasinya, carilah informasi akurat tentangnya serta perhatikanlah apakah ada padanya sesuatu yang mirip kesombongan dan berbangga-bangg itu, karena dia masih anak muda dan aku belum dapat menjamin dirinya bisa terhindar dari godaan syaithan.”
Maimun berkata lagi, “Maka aku segera berangkat hingga bertemu dengan ‘Abdul Malik, lalu minta permisi dan masuk. Ternyata dia adalah seorang yang baru menginjak remaja dan masih muda belia, memiliki pandangan yang ceria dan sangat tawadlu’ (rendah diri). Dia duduk di atas hamparan putih, di atas karpet yang terbuat dari bulu. Lantas menyambutku sembari berkata, ‘Aku telah mendengar ayahanda sering berbicara tentang dirimu yang memang pantas kamu menyandangnya, yaitu seorang yang baik. Aku berharap Allah menjadikanmu orang yang berguna.’ Aku bertanya kepadanya, ‘Bagaimana keadaanmu?’
Dia menjawab, ‘Senantiasa dalam keadaan baik dan mendapat nikmat dari Allah Azza wa Jalla. Hanya saja, aku khawatir bilamana sangkaan baik ayahanda terhadapku membuatku terbuai sementara sebenarnya aku belum mencapai tingkat keutamaan sebagaimana yang disangkanya itu. Dan sungguh aku khawatir kalau kecintaan ayahanda kepadaku telah melebihi pengetahuannya tentang diriku sehingga aku malah menjadi bebannya.’
Mendengar jawaban itu, aku (Maimun) jadi terkagum-kagum kenapa bisa terjadi kecocokan hati di antara keduanya. Kemudian aku bertanya kepadanya,
‘Tolong beritahu aku dari mana sumber penghidupanmu.?’
Dia berkata, “Dari hasil tanah yang aku beli dari seseorang yang mendapat warisan ayahnya. Aku membayarnya dengan uang yang bukan syubhat sama sekali sehingga karenanya aku tidak membutuhkan lagi harta Fai’ (yang didapat tidak melalui peperangan-red.,) kaum Muslimin.’ Aku bertanya lagi,
‘Apa makananmu?’
‘Terkadang daging, terkadang ‘Adas dan minyak dan terkadang cuka dan minyak. Dan, ini sudah cukup.”
Lalu aku bertanya lagi,
“Apakah kamu tidak merasa bangga dengan dirimu sendiri?” Dia menjawab, “Pernah aku merasakan sedikit dari hal semacam itu namun tatkala ayahandaku memberikan wejangan kepadaku, dia berhasil membelalakkan mataku akan hakikat diriku dan menjadikannya kecil bagiku dan jatuh harkatnya di mataku sehingga akhirnya Allah Azza wa Jalla menjadikan wejangan itu bermanfaat bagi diriku. Semoga Allah membalas kebaikan ayahandaku.”
Satu jam aku habiskan untuk mengobrol bersamanya dan rileks dengan ucapannya. Rasanya, belum pernah aku melihat pemuda setampan dia, sesempurna otaknya dan seluhur akhlaqnya padahal dia masih beliau dan kurang pengalaman.
Ketika di penghujung siang, pembantunya datang semberi berkata,
“Semoga Allah memperbaiki dirimu, kami sudah kosongkan!.” Lalu dia diam…
Aku bertanya kepadanya,
“Apa yang mereka kosongkan itu?.”
“WC.” Katanya
“Bagaimana caranya.?” Tanyaku lagi
“Yah, mereka kosongkan dari orang-orang.” Jawabnya
“Tadinya sikapmu mendapatkan tempat yang agung di hatiku hingga sekarang aku dengar hal ini.” Kataku
Dia begitu cemas dan mengucap Innâ Lillâhi Wa Innâ Ilaihi Râji’ûn, lalu berkata,
“Apa itu, wahai paman –semoga Allah merahmatimu-?.”
“Apakah WC itu milikmu.?” Tanyaku
“Bukan.” Katanya
“Lantas apa alasanmu mengeluarkan orang-orang darinya.? Sepertinya dengan tindakanmu itu, engkau ingin mengangkat dirimu di atas mereka dan menjadikan kedudukanmu berada di atas kedudukan mereka. Kemudian engkau juga menyakiti si penunggu WC ini dengan tidak mengabaikan upah hariannya dan membuat orang yang datang ke mari pulang sia-sia.” Kataku lagi
Dia berkata, “Adapun mengenai penunggu WC ini, maka aku sudah membuatnya rela dengan memberikan upah hariannya.”
“Ini namanya pengeluaran foya-foya yang dicampuri oleh kesombongan. Apa sih yang membuatmu enggan masuk WC bersama orang-orang padahal engkau sama saja dengan salah seorang dari mereka.?” Kataku “Yang membuatku enggan hanyalah polah beberapa orang-orang tak beres yang masuk WC tanpa penghalang sehingga kau tidak suka melihat aurat-aurat mereka itu. Demikian pula, aku tidak suka memaksa mereka mengenakan penghalang sehingga hal ini bisa mereka anggap sebagai campur tanganku terhadap mereka dengan menggunakan kewenangan penguasa yang aku bermohon kepada Allah agar kita terhindar darinya. Karena itu, tolong nasehati aku –semoga Allah merahmatimu- sehingga berguna bagiku dan carilah solusi dari permasalahan ini!” Jawabnya.
Aku berkata,
“Tunggulah dulu hingga orang-orang keluar dari WC pada malam hari dan kembali ke rumah-rumah mereka, lalu masuklah.!”
“Kalau begitu, aku berjanji. Aku tidak akan masuk selama-lamanya pada siang hari semenjak hari ini dan andaikata bukan karena begitu dinginnya temperatur di negeri ini (sehingga selalu ingin buang hajat-red.,), tentu aku tidak akan masuk ke WC itu selama-lamanya.” Katanya
Dia berhenti sejenak seakan memikirkan sesuatu, kemudian mengangkat kepalanya menoleh ke arahku sembari berkata,
“Aku bersumpah di hadapanmu, tolong dengan sangat engkau simpan rahasia ini sehingga tidak didengar ayahandaku, sebab aku tidak suka dia masih marah padaku. Aku khawatir bila datang ajal sementara tidak mendapatkan keridlaan beliau.”
Maimun berkata,
“Lalu aku berniat ingin mengetesnya seberapa jauh ke dalaman akalnya, seraya berkata kepadanya, ‘Jika Amirul Mukminin (‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ayahandanya) bertanya kepadaku, apakah aku melihat sesuatu darimu, apakah engkau tega aku berdusta terhadapnya?.”
“Tidak. Ma’adzallâh, akan tetapi katakan padanya, ‘aku telah melihat sesuatu darinya lantas aku nasehati dia, aku jadikan hal itu sebagai perkara besar di hadapan matanya lalu dia cepat-cepat sadar.’ Setelah itu, ayahandaku pasti tidak akan menanyakanmu untuk menyingkap hal-hal yang tidak engkau tampakkan padanya. Sebab, Allah Ta’ala juga melindunginya dari mencari hal-hal yang masih terselubung.” Jawabnya
Maimun berkata, “Sungguh, aku belum pernah sama sekali melihat seorang anak dan ayah seperti mereka berdua –semoga Allah merahmati keduanya-.“
Semoga Allah meridlai khalifah ar-Rasyid kelima, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, menyejukkan kuburannya dan kuburan putra serta buah hatinya, ‘‘Abdul Malik.
Keselamatanlah bagi keduanya pada hari bertemu dengan Allah Ta’ala, ar-Rafîq al-A’la.
Keselamatanlah bagi keduanya pada hari dibangkitkan bersama orang-orang pilihan dan ahli kebajikan.

Abu Darda’

0 komentar

Abu Darda’



“Abu Darda’ menolak dunia dengan dua telapak tangan dan dadanya.”
(Abdurrahman bin Auf)
Uwaimir bin Malik al-Khazraji atau yang sering dipanggil Abu Darda’ bangun tidur lebih awal. Dia pergi menuju patungnya yang dia letakkan di tempat yang paling mulia di rumahnya.
Uwaimir mengucapkan selamat dan mengolesinya dengan minyak wangi yang paling mahal yang dia miliki di toko minyak wanginya. Dia juga memakaikan pada patungnya baju baru dari sutra yang paling mewah. Baju sutra yang baru itu hasil hadiah dari salah seorang pedagang dari Yaman yang datang padanya.
Ketika matahari sudah agak tinggi, Abu Darda’ meninggalkan rumahnya pergi menuju tokonya.
Dalam perjalanan menuju Makkah, ternyata jalan-jalan sudah dipenuhi dengan para pengikut Muhammad yang kembali dari medan Badr. Di depan mereka terdapat tawanan dari bangsa Quraisy. Abu Darda’ ingin menghindari rombongan kaum muslimin, namun langkahnya terhenti oleh seorang pemuda dari suku Khazraj. Abu Darda’ bertanya pada orang tersebut tentang Abdullah bin Rawahah.
Pemuda Khazraj berkata kepada Abu Darda’, “Dalam peperangan tadi, Abdullah bin Rawahah, mendapatkan perlawanan yang sangat sengit, namun dia kembali dalam keadaan menang, dan mendapatkan rampasan perang.”Abu Darda’ senang dengan jawaban tersebut.
Pemuda Khazraj itu tidak heran dengan pertanyaan Abu Darda’ tentang Abdullah bin Rawahah, karena semua orang sudah mengetahui tali persaudaraan antara keduanya. Abu Darda’ dan Abdullah bin Rawahah adalah dua saudara di masa jahiliyyah. Namun ketika datang agama Islam, Abdullah bin Rawahah menyambutnya dengan baik dan masuk Islam, sedangkan Abu Darda’ enggan masuk Islam.
Namun ternyata perbedaan itu tidak memutuskan tali persaudaraan mereka yang kuat. Abdullah bin Rawahah sering berkunjung ke rumah Abu Darda’ dan menawarkan islam padanya dan juga membujuknya untuk masuk Islam dan menyayangkan umur yang dia lewati jika dia dalam keadaan musyrik.
****
Abu Darda’ sampai di tokonya. Dia duduk di kursinya yang tinggi. Mulailah dia melakukan jual beli, dan memerintah serta melarang budaknya.
Abu Darda’ tidak sedikitpun mengetahui sesuatu yang terjadi di rumahnya. Pada waktu itu Abdullah bin Rawahah pergi ke rumah Abu Darda’ dan berniat melaksakan sebuah rencana.
Ketika Abdullah bin Rawahah sampai di rumahnya, dia melihat rumahnya terbuka dan Ummu Darda’ berada di halaman rumah.
Abdullah bin Rawahah berkata, “Assalamu’alaikum, wahai hamba Allah.”
Ummu Darda’ menjawab, “Wa’alaikumsalam, wahai saudara Abu Darda’.”
Abdullah bin Rawahah bertanya, “Di mana Abu Darda’?”
Ummu Darda’berkata, “Dia pergi ke tokonya, nanti dia akan kembali.”
Abdullah bin Rawahah bertanya, “Apakah engkau mengizinkanku masuk?”
Ummu Darda’ menjawab, “Silahkan, selamat datang di rumahku.” Lalu Ummu Darda’ mempersilahkannya masuk. Ummu Darda’ pergi ke kamarnya. Dia sibuk menyelesaikan urusan rumahnya dan mengurusi anaknya.
Abdullah bin Rawahah masuk ke dalam kamar tempat diletakkannya patung di dalam rumahnya. Ia mengeluarkan kapak yang dia bawa. Lalu dia mendekat ke patung tersebut seraya memotong-motongnya. Abdullah berkata, “Ketahuilah bahwa sesuatu yang disembah selain Allah adalah batil (keliru)….sesuatu yang disembah selain Allah adalaah batil.” Setelah selesai memotong-motongnya Abdullah bin Rawahah meninggalkan rumah Abu Darda’.
****
Ummu Darda’ masuk ke dalam kamar yang terdapat patungnya. Dia sangat kaget ketika melihat patungnya terpotong-potong, anggota tubunya terpotong secara terpisah di atas tanah. Ummu Darda’ menampari pipinya seraya berkata, “Sungguh engkau telah mencelakakanku wahai Abdullah bin Rawahah…. Sungguh engkau telah mencelakakanku wahai Abdullah bin Rawahah”
Tidak berselang lama pulanglah Abu Darda’ dari tokonya. Dia  melihat istrinya menangis dengan suara keras dalam keadaan duduk di pintu kamar yang terdapat patungnya.  Tanda-tanda kekhawatiran terpancar dari wajahnya.
Abu Darda’ bertanya, “Ada apa dengamu?”
Ummu Darda’ menjawab, “Ketika engkau tidak ada, saudaramu Abdullah bin Rawahah datang dan menghancurkan patung itu sebagaimana yang engkau lihat.” Abu Darda’ memandangi patungnya yang sudah hancur berkeping-keping. Api kemarahan menyala dalam dirinya. Dia bertekad untuk membalas dendam pada Abdullah bin Rawahah. Namun ia berfikir sejenak dan berkata, “Jika patung ini benar-benar tuhan, niscaya dia mampu menolak musibah yang menimpanya.”
Seketika itu juga dia pergi ke rumah Abdullah bin Rawahah. Lalu keduanya pergi bersama-sama ke rumah Rasulullah `, dia mengikrarkan keislamannya pada beliau. Abu Darda’ adalah orang yang paling akhir dalam memeluk Islam.
Abu Darda’ beriman sejak pertama kepada Allah dan RasulNya dengan keimanan yang dapat merubah kebiasaannya. Dia sangat menyesal sekali dengan kebaikan yang telah lama terlewatkan.
Dia berhasil mencapai apa yang lebih dulu dicapai oleh sahabatnya yang lebih dahulu masuk Islam dalam hal memahami agama islam, menghafal Qur’an, beribadah dan bertakwa yang mereka simpan di sisi Allah.
Abu Darda’ bertekad untuk menyusul hal-hal yang telah terlewatkan dengan penuh kesungguhan. Dia bertekad untuk menyambung keletihan malam dengan keletihan siang agar dapat menyusul ‘para pengendara’ lain dan sejajar dengan mereka.
Dia berusaha terus gigih beribadah laksana para orang yang sudah tidak memikirkan dunia. Terus mencari ilmu seperti orang yang sangat kehausan. Abu Darda’ selalu menekuni al-Qur’an, menghafal ayatnya dan menyelami kandungan ayat-ayatnya.
Ketika Abu Darda merasa perdagangannya selama ini mengganggu kenikmatannya dalam beribadah dan menyebabkannya tertinggal dari majlis ilmu, dia meninggalkan perdagangannya tanpa rasa ragu.
Ada salah seorang yang bertanya tentang sikapnya itu. Namun Abu Darda’ menjawab, “Dulu aku berdagang sebelum aku bertemu dengan Rasulullah. Ketika aku memeluk islam, aku ingin menyatukan antara dagang dan ibadah. Namun hal itu tidak bisa aku lakukan. Akhirnya aku meninggalkan perdagangan dan mementingkan ibadah. Demi Dzat Yang menggenggam nyawaku, alangkah bahagianya aku jika aku mempunyai toko di sebelah pintu masjid  hingga aku tidak tertinggal shalat Jama’ah di masjid. Setelah itu aku berjual beli hingga aku mendapatkan laba hingga 300 dinar.”
Abu Darda’ menoleh kepada orang yang bertanya tersebut, “Demi Allah, aku tidak mengatakan bahwa Allah mengharamkan jual beli. Namun aku tidak ingin masuk dalam golongan orang-orang tertipu dari perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah.”
Abu Darda’ tidak hanya meninggalkan perdagangan saja namun dia juga meninggalkan kemewahan dan kemilau dunia. Dia hanya bertumpu pada beberapa suap makanan yang kasar dan memakai baju yang murahan untuk menutupi tubuhnya.
Pada suatu malam yang sangat dingin ada sekumpulan orang yang berkunjung ke rumahnya. Abu Darda’ hanya menghidangkan makanan yang kasar untuk mereka dan tidak menyediakan selimut. Ketika para tamu itu hendak tidur, mereka berunding tentang masalah selimut. Salah seorang dari mereka berkata, “Aku akan menemui Abu Darda’ dan mengatakan masalah ini.” Sedangkan yang  lainnya berkata, “Kita terima saja seperti ini.” Namun orang tersebut enggan. Dia pergi ke kamar Abu Darda’. Ketika dia sampai di pintu kamarnya ternyata Abu Darda’ sudah berbaring. Sedangkan istrinya duduk di dekatnya. Keduanya hanya memakai baju yang tipis, tidak bisa melindungi dari panas dan tidak bisa menahan udara dingin.
Orang tersebut berkata kepada Abu Darda’, “Aku melihatmu tidur sebagaimana kondisi kami. Di manakah perlengkapan rumah kalian?”
Abu Darda’ menjawab, “Kami mempunyai rumah yang terletak disana. Setiap kali kami memperoleh rizki, kami selalu mengirimkan perlengkapan rumah ke sana setiap kali kami mendapatkan keuntungan.  Seandainya kami masih mempunyai sisa perlengkapan rumah, niscaya akan kami berikan kepada kalian. Jalan menuju rumahku yang ‘di sana sangatlah terjal dan susah. Orang yang meringankan bebannya di sana lebih baik daripada orang yang memberatkannya. Kami ingin meringankan beban kami agar kami sampai di rumah kami ‘di sana.”
Abu Darda’ meyakinkan orang tersebut. “Apakah kamu faham dengan maksudku?”
Orang itu menjawab, “Iya, aku faham. Semoga Allah membalas kebaikan padamu.”
****
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, Abu Darda’ diminta untuk menjadi gubernur Syam, namun dia enggan. Khalifah Umar terus mendesaknya. Abu Darda’ berkata, “Jika engkau merelakanku untuk pergi kepada mereka sebagai pengajar al-Qur’an dan sunnah nabiNya serta menjadi imam mereka, maka aku akan pergi.” Umar mengabulkan permintaan Abu Darda’. Akhirnya Abu Darda’ pergi ke Damaskus. Sesampainya di Damaskus dia mendapati semua orang terbuai dalam kemewahan dunia, mereka terjerumus ke dalam kenikmatan. Abu Darda’ khawatir dengan keadaan itu. Akhirnya dia menyeru manusia untuk pergi ke masjid dan berkumpul dengannya. Abu Darda’ berdiri di tengah-tengah mereka seraya berkata,
“Wahai penduduk Damaskus, kalian adalah saudaraku seagama. Kalian adalah tetanggaku, kalian adalah penolongku dalam menghadapi musuh. Wahai penduduk Damaskus, apa yang menghalangi kalian untuk mengasihiku serta menerima nasehatku, padahal sedikitpun aku tidak mengharapkan balasan dari kalian. Nasehatku untuk kalian, sedangkan kebutuhanku telah dicukupi oleh orang selain kalian. Mengapa orang-orang bodoh di antara kalian tidak belajar sedangkan para ulama’ telah wafat?”
“Mengapa kalian meninggalkan apa yang diperintah Allah, padahal Allah telah mencukupi semua kebutuhan kalian?! Mengapa kalian mengumpulkan harta yang tidak kalian butuhkan untuk makan? Mengapa kalian membangun rumah yang tidak kalian butuhkan untuk ditinggali? Mengapa kalian mengkhayalkan sesuatu yang tidak mungkin kalian capai? Sebelum kalian ada banyak sekali kaum yang mengumpulkan harta dan mempunyai khayalan-khayalan namun tidak lama setelah itu akhirnya mereka binasa bersama dengan yang mereka kumpulkan. Khayalan mereka tidak tercapai dan rumah-rumah mereka menjadi kuburan.“
“Wahai penduduk Damaskus, lihatlah kaum ‘Ad yang memenuhi dunia dengan harta dan anak mereka. Siapa di antara kalian yang membeli peninggalan ‘Ad dariku dengan dua dirham?”
Akhirnya semua penduduk Damaskus menangis hingga suara tangisan mereka terdengar hingga keluar masjid.”
****
Sejak saat itulah Abu Darda’ selalu mengisi majlis-majlis di Damaskus serta berkeliling ke pasar-pasar mereka. Dia menjawab pertanyaan tiap orang yang bertanya, mengajari orang-orang yang bodoh dan memberi peringatan kepada orang-orang yang lalai.  Abu Darda’ selalu menggunakan kesempatan yang ada. Dan memberi manfaat di setiap acara.
Pada suatu hari Abu Darda’ melewati sekumpulan orang yang menghajar seorang laki-laki. Mereka memukulinya dan mengumpatnya. Abu Darda’ menghadap mereka dan bertanya, “Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Ada seorang laki-laki yang melakukan dosa besar.”
Abu Darda’ bertanya, “Bagimana pendapat kalian jika kalian melihat ada orang yang masuk ke dalam sumur. Bukankah kalian akan mengeluarkannya dari sumur itu?”
Mereka menjawab, “Iya, kami akan mengeluarkannya.”
Abu Darda’ berkata, “Kalau begitu, jangan kalian hajar dia, namun berilah peringatan padanya dan tunjukilah jalan yang benar. Ucapkanlah syukur kepada Allah yang membuat kalian tidak terjerumus dalam dosa yang dia lakukan.”
Mereka bertanya pada Abu Darda’, “Apakah engkau tidak membencinya?”
Abu Darda’ menjawab, “Aku hanya membenci perbuatan dosanya. Jika dia meninggalkannya maka dia adalah saudaraku.”
Pemuda yang melakukan dosa itu akhirnya menangis dan mengikrarkan taubatnya.
****
Pada suatu hari ada seorang laki-laki yang menghadap Abu Darda’. Dia berkata, “Wahai sahabat Rasulullah, berilah wasiat kepadaku.”
Abu Darda’ berkata kepadanya, “Wahai anakku, ingatlah Allah ketika engkau dalam keadaan bahagia, niscaya Allah akan mengingatmu di kala engkau sengsara. Wahai anakku, jadilah engkau orang yang belajar, atau mengajar, atau mendengarkan. Janganlah engkau menjadi orang yang keempat (orang yang bodoh), karena engkau akan binasa. Wahai anakku, jadikanlah masjid sebagai rumahmu. Karena aku mendengar Rasulullah bersabda, “Masjid-masjid adalah rumah orang yang bertakwa.” Allah kmenjanjikan kelonggaran dan rahmat kepada orang-orang yang menajdikan masjid sebagai rumah, dan juga akan memudahkan mereka untuk melewati shirotol mustaqim menuju ridl  Allah k.
****
Pada suatu hari ada sekelompok pemuda yang duduk-duduk di jalan. Mereka berbincang-bincang sembari menyaksikan orang-orang yang berjalan. Abu Darda’ menemui mereka dan berkata, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya tempat ibadah bagi seorang muslim adalah rumahnya. Karena di dalam rumah dapat menahan dirinya dan menahan pandangannya. Janganlah kalian duduk-duduk di pasar, karena hal itu akan melalaikan kalian dan membuat kalian melakukan hal yang sia-sia.
****
Ketika Abu Darda’ masih tinggal di Damaskus, gubernurnya yang bernama Muawiyah bin Abu Sufyan. mengutus utusan untuk melamar putri Abi Darda’ untuk anaknya yang bernama Yazid. Namun Abu Darda’ tidak mau menikahkan putrinya dengan Yazid. Abu Darda’ justru menikahkannya dengan orang biasa yang beragama dan berakhlak baik.
Hal itu ternyata menjadi pembicaraan manusia. Mereka mengatakan, “Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan meminang putri Abu Darda’ namun Abu Darda’ menolak pinangannya malah menikahkan putrinya dengan laki-laki biasa dari kalangan kaum muslimin. “
Ada salah seorang yang bertanya kepada Abu Darda’ tentang alasannya. Abu Darda’ menjawab, “Aku melakukan perbuatanku itu karena aku lebih mementingkan kemaslahatan Darda’.”
Penanya itu bertanya, “Bagaimana bisa begitu?”
Abu Darda’ menjawab, “Bagaimana pendapatmu jika Darda’ kelak mempunyai budak-budak yang melayaninya. Darda’ akan terlenakan dengan megahnya istana yang dia tinggali. Pada waktu itu dimanakah dia meletakkan agamanya?”
****
Ketika Abu Darda’ masih tinggal di Damaskus, datanglah khalifah Umar untuk mencari tahu keadaannya. Umar mengunjungi rumah sahabatnya, Abu Darda’ di malam hari. Umar mendorong pintunya, ternyata pintu rumahnya tidak ada gemboknya. Akhirnya Umar masuk ke dalam rumahnya yang sangat gelap dan tidak ada cahayanya sedikitpun. Ketika Abu Darda’ mendengar suara orang yang datang kepadanya, dia langsung bangun. Dia menyambutnya dan mempersilahkannya duduk.
Keduanya saling berbincang dan bertukar pengalaman. Sedangkan gelapnya malam kala itu menghalangi pandangan kedua mata mereka. Umar meraba bantal Abu Darda’ ternyata bantalnya hanyalah kain tipis yang biasa dipakai di atas kendaraan. Ketika Umar meraba kasurnya, ternyata hanya tumpukan kerikil. Ketika Umar meraba selimutnya, ternyata selimutnya hanyalah kain tipis yang  tidak sedikitpun dapat menahan cuaca dingin di Damaskus.
Umar bertanya kepada Abu Darda’, “Semoga Allah menyayangimu, bukankah aku telah mengirimkan harta untukmu?”
Abu Darda’ menjawab, “Wahai Umar, tidakkah engkau ingat hadis Rasulullah kepada kita?”
Umar bertanya, “Apa itu?”
Abu Darda’ menjawab, “Hendaklah harta seseorang di dunia hanyalah seperti perbekalan seorang musafir.”
Umar menjawab, “Iya, aku ingat.”
Abu Darda’ menjawab, “Lalu apa yang harus kita lakukan setelah kita mendengar hadis itu?”
Akhirnya Umar dan Abu Darda’ menangis bersam-sama. Keduanya menangis hingga tiba waktu subuh.
****
Selama tinggal di Damaskus Abu Darda’ selalu memberikan nasehat  pada penduduk Damaskus. Mengajari mereka al-Qur’an dan hikmah hingga ajal datang menjemputnya. Ketika Abu Darda’  menderita sakit yang menghantarkannya pada kematian para sahabatnya menemuinya.
Mereka bertanya, “Apa yang engkau keluhkan?”
Abu Darda’ menjawab, “Aku mengeluhkan dosa-dosaku.”
Mereka bertanya, “Apa yang engkau inginkan?”
Abu Darda’ menjawab, “Yang aku inginkan adalah ampunan Tuhanku.”
Lalu Abu Darda’ berkata kepada orang yang disampingnya, “Talkinlah aku kalimat Lâ ilâha illallah Muhammadur Rasulullah.” Abu Darda’ terus mengulang-ulang kalimat itu hingga ajal datang menjemputnya.
Ketika Abu Darda’ meninggal Auf bin Abdul Malik al-Asyja’i melihat tanah lapang yang hijau, sangat luas dan bertumbuh-tumbuhan hijau. Di dalam tanah tersebut terdapat tenda besar dari kulit, di sekelilingnya terdapat kambing-kambing yang sedang menderum. Pemandangannya sama sekali belum pernah terlihat mata.”
Auf bin Abdul Malik bertanya, “Milik siapakah ini?” lalu ada orang yang berkata, “Itu milik Abdurrahman bin Auf.”
Lalu Abdurrahman bin Auf keluar dari tendan dan berkata, “Wahai Ibnu Malik, ini adalah pemberian Allah kepada kami karena al-Qur’an. Jika engkau menghadapkan ini ke jalan pasti engkau akan melihat sesuatu yang belum terlihat oleh mata, engkau akan mendengar apa yang belum pernah engkau dengar, engkau akan menemukan sesuatu  yang belum pernah terlintas dalam hatimu.”
Ibnu Malik bertanya, “Untuk siapakah itu semua wahai Abdurrahman bin Auf?” Abdurrahman bin Auf menjawab, “Allah menyiapkannya untuk Abu Darda’ karena dia menolak dunia dengan dua telapak tangan dan dadanya.”

ABDULLAH BIN ABBAS

0 komentar
ABDULLAH BIN ABBAS

Abdullah bin Abbas adalah pemuda yang dewasa, mempunyai lisan yang selalu bertanya dan akal yang sangat cerdas” (Umar bin Khattab)
Sungguh sahabat kita yang mulia ini mempunyai kemuliaan dalam segala hal. Tidak ada sedikitpun yang tidak terjamah dengan kemuliaannya. Kemuliaannya yang pertama ialah sebagai seorang sahabat Rasulullah. Meskipun dia dilahirkan jauh hari dari Rasulullah, namun Abdullah bin Abbas masih sempat mendapat kemuliaan untuk menjadi sahabat beliau.
Kemuliaan yang kedua ialah hubungan kerabatnya dengan Rasululllah. Abdullah bin Abbas adalah sepupu Rasulullah Saw. Kemuliaannya yang ketiga  adalah keilmuannya yang luas. Abdullah bin Abbas adalah seorang alim dan shalih dari kalangan umat nabi Muhammad. Dia juga merupakan lautan ilmu yang sangat dalam.
Kemuliaan yang lainnya adalah ketakwaanya. Abdullah bin Abbas merupakan orang yang sering puasa di siang hari, sering shalat tahajjud pada malam hari, dan sering beristighfar di waktu pagi menjelang subuh. Abdullah bin Abbas adalah orang yang sangat sering menangis karena takut kepada Allah. Karena seringnya beliau menangis air matanya membekaskan dua garis di pipinya.
Dialah Abdullah bin Abbas, pendidik yang alim dan mengenal Allah dari kalangan umat nabi Muhammad. Dia adalah orang yang paling mengetahui kitab Allah dan paling pandai dalam mentakwilkannya, paling pandai dalam menyelami kandungan-kandungannya, hingga menemukan maksud-maksud serta rahasia-rahasia al-Qur’an.
Abdullah bin Abbas dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah. Ketika Rasulullah wafat usianya tidak lebih dari 13 tahun saja.
Meskipun demikian namun Abdullah bin Abbas menghafal 1660 hadis Rasulullah untuk kaum muslimin yang sering diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam dua kitab shahihnya.
Ketika Abdullah bin Abbas dilahirkan, dia dibawa  menuju Rasulullah. Rasulullah memasukkan air liur beliau ke  tenggorokannya dengan tangan beliau. Sehingga yang pertama kali masuk ke dalam perutnya adalah air liur Rasulullah yang berkah dan suci. Bersamaan dengan masuknya air liur tersebut masuk pula takwa dan hikmah ke dalam dirinya.
“Barangsiapa yang diberikan hikmah maka sungguh dia telah diberikan kebaikan yang banyak”
Ketika pemuda dari bani Hasyim itu menginjak dewasa dan mencapai usia baligh, ia selalu mendampingi Rasulullah. Kedekatannya seperti mata yang selalu mengikuti pemiliknya. Abdullah bin Abbas selalu menyiapkan air wudlu untuk Rasulullah ketika beliau hendak wudlu.
Saat Rasulullah shalat, Abdullah bin Abbas shalat di belakang beliau. Ketika Rasulullah bepergian, Abdullah bin Abbas selalu membonceng dibelakang beliau.
Kedekatannya dengan Rasulullah seperti bayangan beliau yang selalu mengikuti kemanapun beliau berjalan dan dimanapun beliau berputar.
Disamping Abdullah bin Abbas selalu mengikuti Rasulullah, Abdullah bin Abbas juga mempunyai hati yang sangat jernih, otak yang cerdas, dan sangat pandai menghafal meskipun tanpa alat penghafal yang canggih seperti sekarang.
Abdullah bin Abbas bercerita tentang dirinya,
Pada suatu ketika Rasulullah ingin berwudlu, dengan sigap aku menyiapkan air wudlu beliau. Rasulullah sangat senang dengan yang aku lakukan.
Ketika beliau hendak shalat, beliau menunjukku untuk shalat di samping beliau. Namun aku berdiri di belakang beliau. Selesai shalat beliau mencondongkan badan beliau ke arahku dan bertanya, “Apa yang menghalangimu untuk shalat di sampingku wahai Abdullah?” Aku menjawab, “Engkau lebih mulia dan lebih terhormat di pandanganku daripada aku berdiri di sampingmu.” Lalu Rasulullah mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, “Ya Allah, berikanlah hikmah kepadanya”
Dan ternyata Allah mengabulkan doa nabi Muhammad Saw.. Allah memberikan hikmah kepada Abdullah bin Abbas melebihi para ahli hikmah lainnya.
Tidak diragukan lagi, pasti anda sangat ingin untuk mendengarkan cerita demi cerita Abdullah bin Abbas. Inilah kisah-kisah yang anda inginkan.
Ketika sahabat Ali bin Abi Thalib berseteru dengan Muawiyah, para sahabat Ali meninggalkan dirinya. Abdullah bin Abbas berkata kepada Ali, “Wahai Amirul Mukminin, izinkanlah aku mendatangi kaummu dan menjelaskan kepada mereka.” Ali bin Abi Thalib menjawab, “Aku sangat mengkhawatirkanmu jika engkau terkena bahaya mereka.” Abdullah bin Abbas berkata, “Sekali-kali tidak mungkin hal itu akan terjadi, jika Allah menghendaki.”
Lalu Abdullah bin Abbas menemui mereka. Ketika melihat mereka ternyata tidak ada satu kaumpun yang lebih giat dalam beribadah melebihi mereka.
Mereka berkata, “Selamat datang wahai Ibnu Abbas! Ada apa engkau datang kemari?” Abdullah bin Abbas berkata, “Aku datang untuk memberikan penjelasan kepada kalian.”
Sebagian mereka menjawab, “Tidak usah kamu menjelaskannya pada kami.” Namun sebagian yang lainnya menjawab, “Jelaskanlah, kami akan mendengarkannya.”
Abdullah bin Abbas berkata, “Apa yang menyebabkan kalian mengingkari sepupu Rasulullah yang sekaligus menantu beliau dan juga orang yang pertama kali beriman pada beliau (Ali)?”
Mereka menjawab, “Kami mengingkari tiga hal darinya.”
Abdullah bin Abbas bertanya, “Apa saja itu?”
Mereka menjawab, “Yang pertama, karena dia menjadikan orang-orang yang berada di dalam agama Allah sebagai hakim[1]. Yang kedua, dia memerangi Aisyah dan Muawiyah, namun tidak mengambil ghanimah (rampasan perang)  dan tawanan perang. Yang ketiga, dia menghapus gelar Amirul Mukminin dari dirinya. Padahal kaum mukminin membaiatnya dan mengangkatnya menjadi pemimpin.”
Abdullah bin Abbas berkata, “Bagaimana jika aku bacakan ayat Al-Qur’an kepada kalian dan aku bacakan hadis Rasulullah yang tidak kalian ingkari. Apakah kalian akan merubah pendirian yang kalian pegang tersebut?”
Mereka menjawab, “Iya!”
Abdullah bin Abbas membacakan firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah Telah memaafkan apa yang Telah lalu. dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.(al-Maidah:95)
Abdullah bin Mas’ud bertanya, “Aku bersumpah kepada kalian dengan nama Allah. Bagaimana tanggapan kalian dengan laki-laki yang menjaga harga diri, darah dan perdamaian di antara mereka dengan seekor kelinci yang harganya tidak lebih dari seperempat dirham. Apakah  menjaga diri, harta, dan perdamaian lebih berhak daripada menjaga kelinci?”
Mereka menjawab, “Yang lebih berhak adalah menjaga darah, diri dan perdamaian di antara mereka. “
Abdullah bin Abbas bertanya, “Sudahkah kalian faham dengan hal ini?”
Mereka menjawab, “Iya.”
Abdullah bin Abbas bertanya, “Jika kalian mengatakan, sesungguhnya Ali berperang namun tidak mengambil tawanan wanita, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah. Apakah kalian menghendaki jika Ali menawan Aisyah, ibu kalian dan menghalalkan kehormatannya (boleh dikumpuli) sebagaimana Rasulullah menawan perempuan lain? Jika kalian menghendaki Ali untuk menawan Aisyah, maka sungguh kalian telah kafir. Namun jika kalian mengatakan bahwa Aisyah bukan ibu kalian, maka sungguh kalian juga kafir, karena Allah Swt.  berfirman,”
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. (al-Ahzâb:6)
Abdullah bin Abbas bertanya, “Sudahkah kalian faham dengan hal ini?”
Mereka menjawab, “Iya.”
Abdullah bin Abbas menjawab, “Sekarang terserah kalian memilih yang mana saja.”
Abdullah bin Abbas berkata, “Adapun perkataan kalian, sesungguhnya Ali menghapus gelar Amirul Mukminin dari dirinya. Alasannya adalah, pada peristiwa perjanjian Hudaibiyyah Rasulullah meminta kaum musyrikin untuk  menulis isi perjanjian itu dengan nama beliau Muhammad Rasulullah, namun mereka enggan dan berkata, “Kalimat ‘Rasulullah’ (Utusan Allah) inilah yang membuat kami memerangimu” tulislah Muhammad bin Abdullah.” Dan Rasulullahpun menuruti kemauan mereka. Beliau berkata, “Sungguh aku adalah Rasulullah, meskipun kalian mendustakanku. “
Abdullah bin Abbas kembali bertanya, “Apakah kalian sudah faham hal ini?”
Mereka menjawab, “Iya.”
Hasil dari pembicaraan Ali yang penuh dengan hikmah yang dalam dan alasan yang kuat ini adalah kembalinya 20.000 orang ke barisan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan 4000 orang lainnya masih memusuhi dan melawan Ali serta berpaling dari kebenaran.
Pemuda yang bernama Abdullah bin Abbas ini menempuh berbagai jalan untuk menuntut ilmu. Untuk meraih ilmu yang dia tuju dia mengerahkan segenap tenaganya.
Abdullah bin Abbas minum dari ‘sumber air’ Rasulullah selama hidup beliau. Ketika Rasulullah pulang ke haribaan Allah, Abdullah bin Abbas mencari ilmu dari para ulama’ yang masih tersisa. Dia mengambil ilmu dari mereka dan juga berguru secara tatap muka dengan mereka.
Abdullah bin Abbas bercerita tentang dirinya,
Apabila ada salah seorang sahabat yang menyampaikan hadis Rasulullah kepadaku, aku langsung mendatangi pintu rumah beliau di kala beliau sedang tidur siang. Aku membentangkan selendangku di teras rumahnya. Hingga angin-angin menerbangkan debu ke badanku. Seandainya saja aku meminta izin kepada beliau niscaya beliau mengizinkanku. Sungguh aku melakukan hal tersebut agar tidak mengganggu istirahat beliau.
Ketika Rasulullah keluar dari rumahnya dan melihat kondisi Abdullah bin Abbas seperti itu, beliau bertanya, “Wahai sepupu Rasulullah, apa yang mendorongmu untuk datang kepadaku? Tidakkah cukup engkau mengirim surat kepadaku kemudian aku mendatangimu?”
Abdullah bin Abbas berkata, “Aku lebih berhak untuk mendatangimu. Karena ilmu itu didatangi bukan mendatangi.” Baru setelah itu aku bertanya kepada beliau hadis yang beliau sabdakan.
Meskipun Abdullah bin Abbas menghinakan dirinya dalam menuntut ilmu namun dia sangat menghormati para ulama’.
Lihatlah ketika Zaid bin Tsabit, penulis wahyu dan pemimpin penduduk Madinah dalam masalah Fiqih, Qira’ah, dan ilmu Fara’idl (ilmu waris) menunggang kendaraannya, Abdullah bin Abbas, pemuda dari Bani Hasyim itu berdiri di hadapannya seperti berdirinya seorang budak kepada tuannya. Abdullah bin Abbas memegangi unta Zaid bin Tsabit dan memegang tali kendalinya.
Zaid berkata padanya, “Wahai sepupu Rasulullah, lepaskanlah tali itu!”
Ibnu Abbas berkata, “Beginilah kami diperintahkan untuk berperilaku kepada  ulama’ kami.”
Zaid berkata, “Tunjukkan tanganmu padaku!”
Abdullah bin Abbas mengeluarkan dua tangan beliau. Pada waktu itu Zaid bin Tsabit membungkukkan tubuhnya dan mencium tangannya. Zaid berkata, “Beginilah kami diperintahkan untuk berperilaku kepada keluarga nabi kami.”
Abdullah bin Abbas terbiasa mencari ilmu dengan cara seperti itu. Bahkan hal itu menjadi sesuatu yang sangat menakjubkan bagi para pujangga.
Masru’ bin al-Ajda’, salah seorang tokoh tabi’in berkata, “Ketika aku melihat Abdullah bin Abbas, aku selalu mengatakan “inilah manusia yang paling tampan.”
Apabila aku mendengar dia berkata, aku mengucapkan, “Inilah orang yang paling fasih lisannya.”
Apabila dia berbicara tentang keilmuan aku berkata, “Inilah orang yang paling alim (luas wawasannya) di kalangan manusia.
Ketika keilmuan Abdullah bin Abbas hampir mencapai kesempurnaan yang dia inginkan, Abdullah bin Abbas menjadi guru bagi semua manusia.
Rumahnya adalah kampus bagi kaum muslimin. Ya, kampus dalam arti seperti di masa modern ini. Hanya saja terdapat perbedaan antara kampus Abdullah bin Abbas dengan kampus saat ini.
Kampus saat ini dipenuhi dengan puluhan dosen, sedangkan kampus Abdullah bin Abbas hanya bertumpu kepada satu dosen saja, yaitu Abdullah bin Abbas.
Salah seorang sahabatnya berkata, “Sungguh aku sudah tahu betul majlis Abdullah bin Abbas. Seandainya saja semua kaum Quraisy membanggakan majlis Abdullah bin Abbas, sungguh hal itu sudah tepat untuk menjadi kebanggaan.”
Aku melihat banyak sekali orang yang berkumpul di jalan yang menuju ke rumahnya, hingga jalan tersebut disesaki oleh mereka. Aku masuk ke dalam rumahnya dan memberitahunya bahwa manusia sudah berjejal-jejalan di pintu rumahnya.“
Abdullah bin Abbas berkata kepadaku, “Sediakanlah air wudlu untukku!”
Setelah itu Abdullah bin Abbas berwudlu dan duduk. Dia berkata kepadaku, “Katakanlah kepada mereka, siapa yang menginginkan ilmu tentang al-Qur’an dan cara membacanya, silahkan masuk!”
Lalu aku keluar dan mengatakan hal itu kepada orang-orang yang sudah berdesakan diluar. Akhirnya mereka yang menginginkan ilmu tersebut masuk ke dalam rumahnya hingga memenuhi kamar beliau. Semua pertanyaan yang diajukan kepadanya, dia jawab dengan baik. Bahkan Abdullah bin Abbas menjawab melebihi apa yang mereka inginkan. Lalu Abdullah bin Abbas berkata kepada mereka, “Berikanlah jalan untuk saudara kalian yang lain!” Lalu mereka keluar.
Abdullah bin Abbas berkata kepadaku, “Katakan kepada mereka, siapa yang ingin bertanya tentang tafsir dan takwil al-Qur’an silahkan masuk!” Lalu aku keluar dan mengatakan hal tersebut kepada mereka.
Akhirnya mereka masuk dan memenuhi kamarnya. Semua pertanyaan mereka dia jawab dengan baik, bahkan dia jawab dengan jawaban yang lebih menyeluruh dari pertanyaan mereka. Setelah itu Abdullah bin Abbas berkata kepada mereka, “Berikanlah jalan untuk saudara kalian yang lain!” Lalu mereka keluar.
Abdullah bin Abbas berkata kepadaku, “Keluarlah dan katakan kepada mereka, siapa yang ingin bertanya tentang halal dan haram serta hukum fikih, silahkan masuk!” Lalu aku keluar dan mengatakan hal tersebut kepada mereka.
Akhirnya mereka masuk dan memenuhi kamarnya. Semua pertanyaan mereka dia jawab dengan baik, bahkan dia menjawab dengan jawaban yang lebih menyeluruh dari pertanyaan mereka. Setelah itu Abdullah bin Abbas berkata kepada mereka, “Berikanlah jalan untuk saudara kalian yang lain!” Lalu mereka keluar.
Abdullah bin Abbas berkata kepadaku, “Keluarlah dan katakan kepada mereka, barangsiapa yang ingin bertanya tentang ilmu faraidl dan yang semisalnya, silahkan masuk!” Lalu aku keluar dan mengatakan hal tersebut kepada mereka.
Akhirnya mereka masuk dan memenuhi kamarnya. Semua pertanyaan mereka dia jawab dengan baik, bahkan dia jawab dengan jawaban yang lebih menyeluruh dari pertanyaan mereka. Setelah itu Abdullah bin Abbas berkata kepada mereka, “Berikanlah jalan untuk saudara kalian yang lain!” Lalu mereka keluar.
Abdullah bin Abbas berkata kepadaku, “Keluarlah dan katakan kepada mereka, siapa yang ingin bertanya tentang syair, bahasa arab dan makna-makna kalimat asing silahkan masuk!” Lalu aku keluar dan mengatakan hal tersebut kepada mereka.
Akhirnya mereka masuk dan memenuhi kamarnya. Semua pertanyaan mereka dia jawab dengan baik, bahkan dia jawab dengan jawaban yang lebih menyeluruh dari pertanyaan mereka.
Orang yang menceritakan hal ini mengatakan, “Seandainya semua orang Quraisy membanggakan hal tersebut, sungguh hal itu sudah merupakan sebuah kebanggaan.”
Abdullah bin Abbas mempunyai keinginan untuk membagikan ilmu sesuai hari-hari yang ada, hingga tidak terjadi desak-desakan di pintunya seperti hari itu. Abdullah bin Abbas membagi satu hari dalam satu minggu khusus untuk mempelajari ilmu tafsir. Satu hari berikutnya khusus untuk mempelajari ilmu fikih. Satu hari berikutnya khusus untuk mempelajari sejarah peperangan Rasulullah, satu hari berikutnya khusus untuk mempelajari syair, satu hari berikutnya khusus untuk mempelajari hari-hari orang Arab. Semua orang alim yang duduk di majlisnya tunduk padanya. Semua yang bertanya kepadanya pasti akan mendapatkan ilmu.
Abdullah bin Abbas juga merupakan orang yang selalu diajak bermusyawarah oleh para khalifah karena kelebihan ilmunya dan kefakihannya. Meskipun saat itu usianya masih muda.
Apabila Umar bin Khattab memiliki masalah yang sangat sukar diselesaikan, dia memanggil semua sahabatnya. Di antara orang yang dia undang adalah Abdullah bin Abbas. Apabila Abdullah bin Abbas datang, Umar meninggikan tempat duduk Abdullah bin Abbas, sedangkan dia sendiri merendahkan tempat duduknya.
Umar berkata kepadanya, “Saya mempunyai masalah yang sangat berat sekali, hanya orang-orang yang semisalmu yang dapat menyelesaikan masalah tersebut.”
Pernah suatu ketika Umar dikritik karena mengundang Abdullah bin Abbas dan mengikutsertakannya dalam kumpulan para sahabat. Abdullah bin Mas’ud masih terlalu muda, alasan mereka. Lalu Umar bin Khattab menjawab, “Sungguh Abdullah bin Abbas adalah pemuda yang berfikiran dewasa, mempunyai lisan yang selalu bertanya, mempunyai akal yang cerdas.”
Meskipun Abdullah bin Abbas selalu pergi untuk mengajarkan ilmu kepada orang-orang tertentu namun dia tidak melupakan haknya kepada orang-orang awam. Dia juga mempunyai majlis untuk memberikan nasihat dan peringatan.
Di antara nasihatnya ialah, nasihat  kepada para pelaku dosa,
“Wahai para pelaku dosa, janganlah kalian merasa aman dari siksaan yang disebabkan oleh dosa kalian. Ketahuilah, dosa yang kalian lakukan akan selalu diiringi dosa yang lebih besar dari dosa yang kalian lakukan. Ketiadaan rasa malu kepada orang yang berada di sebelah kanan dan kirimu ketika engkau melakukan perbuatan dosa tidaklah mengurangi dosa kalian. Tertawa kalian saat melakukan dosa, sungguh lebih besar dosanya daripada dosa yang kalian lakukan. Kalian melakukan perbuatan dosa, padahal kalian tidak tahu apa yang akan Allah perbuat untuk kalian. Kebahagiaan kalian ketika berhasil  melakukan dosa, lebih besar dosanya daripada dosa yang kalian lakukan. Kesedihan kalian karena tidak bisa melakukan dosa, merupakan dosa yang lebih besar daripada dosa itu sendiri. Ketakutan kalian jika perbuatan dosa yang kalian lakukan diketahui manusia adalah dosa yang lebih besar dari dosa yang kalian lakukan. Apalagi jika hati kalian pada waktu itu tidak sedikitpun ada rasa takut dengan pengawasan Allah. Wahai para pelaku dosa, tahukan kalian apa dosa nabi Ayyub As. ketika Allah menimpakan cobaan pada diri dan hartanya? Dosanya pada waktu itu hanyalah karena dia tidak memberikan pertolongan kepada orang yang datang meminta tolong padanya.”
****
Abdullah bin Abbas bukanlah merupakan tipe orang yang mengatakan apa yang tidak dia lakukan, bukan pula seperti orang yang melarang sesuatu padahal dia sendiri melakukannya. Abdullah bin Abbas adalah orang yang ahli puasa di siang hari dan ahli shalat tahajjud pada malam hari.
Abdullah bin Malikah menceritakan tentang Abdullah bin Abbas. Dia berkata, “Dulu aku pernah menemani Abdullah bin Abbas bepergian dari Makkah menuju Madinah. Apabila kami singgah di sebuah rumah, kami melakukan shalat di separuh malam ketika semua manusia tertidur karena kecapekan yang luar biasa. Pada suatu malam aku melihatnya membaca ayat,
وَ جآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيْدُ
“Dan datanglah sakaratul maut dengan nyata, pada waktu itu kalian tidak bisa melarikan diri…”(Qaf:19)
Abdullah bin Abbas mengulang-ulang ayat itu dan menangis dengan suara yang keras hingga matahari terbit.”
****
Setelah kita mengenal Abdullah bin Abbas, cukuplah bagi kita untuk mengatakan bahwa Abdullah bin Abbas adalah orang yang paling menawan di antara semua manusia dan paling cerah wajahnya. Abdullah bin Abbas selalu menangis di tengah malam karena takut kepada Allah hingga air matanya yang deras meninggalkan dua bekas pada kedua pipinya yang indah. Bekas itu menyerupai bekas tali sandal.
Abdullah bin Abbas mencapai puncak kemuliaan ilmu yang paling tinggi. Hal itu terbukti ketika pada suatu hari khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan keluar untuk menunaikan ibadah haji. Abdullah bin Abbas pada waktu itu juga keluar untuk menunaikan ibadah haji. Waktu itu Abdullah bin Abbas tidak memiliki kekuasaan atau kerajaan. Muawiyah membawa rombongan yang sangat banyak yang terdiri dari para pegawai pemerintahannya. Namun ternyata Abdullah bin Abbas juga mempunyai rombongan yang sangat banyak melebihi rombongan khalifah Muawiyah. Rombongan tersebut adalah para pencari ilmu.
Abdullah bin Abbas hidup di dunia selama 71 tahun. Selama hidupnya dia memenuhi dunia dengan ilmu, hikmah dan takwa.
Ketika Abdullah bin Abbas meninggal dunia, Muhammad bin Hanafiyyah[2] juga turut menyolatkannya. Sedangkan yang lainnya ialah para sahabat yang masih hidup dan juga para tabi’in.
Ketika mereka menaburkan tanah di atas kuburannya, tiba-tiba mereka mendengar seseorang yang membaca,
Artinya,
“Wahai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah kepada tuhanMu dengan hati yang ridha dan diridhai * Masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah surgaKu. (al-Fajr: 27-30) [3]

[1] Yang mereka maksud adalah, Ali menerima orang-orang dari Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash dalam mengadili antara Ali dan Muawiyah.
[2] Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Abi Thalib. Dia dinisbatkan kepada ibunya, untuk membedakan antara Hasan dan Husain. Ibu Hasan dan Husain adalah Fatimah, sedangkan ibu Muhammad adalah seorang perempuan dari bani Hanifah.

JA’FAR BIN ABDUL MUTHALIB

0 komentar

JA’FAR BIN ABDUL MUTHALIB

 
Aku melihat Ja’far di surga mempunyai dua sayap yang basah mengeluarkan darah (Hadis nabi)
Dari keturunan bani Abdi Manaf, ada lima orang yang sangat mirip sekali dengan Rasulullah. Hingga banyak sekali mata yang tidak mengetahui apakah itu Rasulullah atau bukan.
Tidak diragukan lagi pasti para pembaca yang budiman ingin mengetahui siapa saja lima orang yang menyerupai Rasulullah Saw. tersebut.
Mari kita mengenal mereka. Mereka adalah, yang pertama, Abu Sufyan bin Haris bin Abdul Muthalib, sepupu Rasulullah dan saudara sepersusuan beliau. Yang kedua, Qutsam bin Abbas bin Abdul Muthalib, juga sepupu beliau. Yang ketiga, Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim, kakek Imam Syafi’i Ra. Yang keempat adalah, Hasan bin Ali, cucu Rasulullah Saw, dialah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Sedangkan yang terakhir adalah Ja’far bin Abdul Muthalib, saudara Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib.
Mari kita simak bersama-sama sejarah kehidupan Ja’far.
Abu Thalib, adalah orang yang mempunyai anak banyak dan kehidupan yang sederhana, meskipun dikenal dengan kemuliaan dan ketinggian derajatnya di kalangan kaum Quraisy.
Dari hari ke hari kondisinya semakin kekurangan karena musim paceklik di Makkah saat itu. Semua binatang ternak mati, dan semua manusia hanya bisa makan tulang-tulang kering.
Pada waktu itu dari kalangan bani Hasyim tidak ada orang yang lebih kaya dari Muhammad bin Abdillah dan pamannya Abbas.
Muhammad berkata kepada Abbas, “Wahai pamanku, sesungguhnya saudaramu, Abu Thalib mempunyai keluarga yang banyak. Sedangkan saat ini semua orang tertimpa musim paceklik hingga kelaparan, sebagaimana yang engkau lihat. Pergilah bersamaku untuk lalu kita menanggung salah satu di antara keluarganya. Aku menanggung satu anaknya dan engkau menanggung satu anaknya yang lain kemudian kita cukupi nafkahnya.
Akhirnya keduanya pergi hingga sampai di rumah Abu Thalib. Sesampainya di rumah Abu Thalib keduanya berkata, “Kedatangan kami untuk meringankan beban keluarga yang engkau tanggung agar engkau dapat terhindar dari krisis yang menimpa penduduk kita.”
Abu Thalib berkata, “Jika yang kalian ambil bukan Aqil bin Abu Thalib, maka silahkan.” Lalu nabi Muhammad mengambil Ali sebagai tanggungannya, sedangkan Abbas mengambil Ja’far dan membawanya berkumpul bersama keluarganya.
Ketika Ali hidup bersama Rasulullah, Allah mengutusnya dengan membawa agama petunjuk dan kebenaran. Ali adalah pemuda pertama yang beriman kepada Rasulullah.
Sedangkan Ja’far hidup bersama Abbas hingga besar kemudian masuk islam dan mengambil manfaat dari Islam. Ja’far bin Abi Thalib masuk ke dalam Islam bersama istrinya Asma’ binti Umais sejak pertama kali Rasulullah diutus.
Keduanya masuk Islam lewat perantara Abu Bakar as-Shiddiq sebelum Rasulullah masuk ke Darul Arqam.
Ja’far beserta istrinya juga merasakan gangguan kaum Quraisy sebagaimana yang dirasakan oleh kaum muslimin generasi pertama lainnya. Keduanya menjalani semuanya dengan sabar, karena mereka yakin bahwa jalan masuk menuju surga dipenuhi dengan duri-duri yang menyakitkan. Namun yang melemahkan semangat mereka adalah melarang mereka untuk melaksanakan syariat Islam. Kaum Quraisy juga melarang mereka merasakan nikmatnya ibadah. Mereka selalu mengawasi kaum muslimin dari berbagai arah dan selalu mengintai mereka.
Pada waktu itulah Ja’far bin Abi Thalib beserta istrinya minta izin kepada Rasulullah untuk berhijrah ke Habasyah bersama dengan beberapa orang dari kalangan sahabat. Rasulullah mengizinkan mereka dengan penuh kesedihan yang menyelimuti beliau.
Rasulullah merasa berduka karena para sahabat yang sangat baik dan suci itu hendak meninggalkan rumah mereka dan meninggalkan kampung halaman tempat dimana mereka dibesarkan. Mereka meninggalkan tempat yang dulu mereka nimati sewaktu remaja bukan karena sebab dosa yang mereka lakukan. Mereka hanya mengatakan, “Sesembahan kami adalah Allah.” Namun Rasulullah juga sadar bahwa beliau tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk menghadapi siksaan kafir Quraisy.
Berangkatlah rombongan pertama hijrah menuju Habasyah di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib Ra. Mereka hidup di bawah perlindungan raja Najasyi, raja mereka yang adil dan shaleh.
Untuk pertama kalinya setelah mereka masuk Islam mereka mendapatkan rasa aman. Mereka dapat merasakan manisnya ibadah tanpa diganggu oleh siapapun yang merusak kenikmatan beribadah atau kebahagiaan mereka.
Namun kafir Quraisy ketika mengetahui perginya beberapa kaum muslimin ke negeri Habasyah, mereka tidak tinggal dengan kaum muslimin yang merasakan nikmatnya ibadah dan merasakan aman yang mereka. Kafir Quraisy memberikan ancaman kepada raja Habasyah agar membunuh kaum muslimin atau memulangkan mereka menuju penjara besar (Makkah).
Kita simak bersama penuturan Ummu Salamah yang mendengar dan melihat peristiwa tersebut dengan mata kepala dan telinganya sendiri.
Ummu Salamah bercerita,
Ketika kami sampai di Habasyah, kami merasakan hubungan pertetanggaan yang baik. Kami merasa aman dengan agama kami. Kami menyembah Allah Swt. tanpa ada gangguan atau kami mendengar sesuatu yang kami benci. Ketika kaum Quraisy mengetahui hal tersebut mereka mengirimkan dua juru runding yang sangat kuat kepada raja Najasyi. Kedua orang kuat tersebut adalah Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Keduanya membawa hadiah yang sangat melimpah dan terbaik dari  negeri Hijaz untuk raja Najasyi dan para pendeta mereka. Kaum Quraisy memberikan perintah kepada keduanya agar memberikan hadiah yang sangat berharga tersebut kepada semua pendeta sebelum mereka berbicara dengan raja Najasyi mengenai masalah kaum muslimin.
***
Sesampainya kedua Quraisy itu di Habasyah keduanya langsung membagi-bagikan hadiah tersebut kepada semua pendeta. Mereka semua mendapatkannya tanpa ada yang tidak mendapatkannya satu orangpun. Kedua orang tersebut berkata kepada raja Najasyi, “Ada beberapa orang kaumku yang bodoh tinggal di negeri raja. Mereka keluar dari agama nenek moyang mereka dan mereka memecah belah persatuan negeri kami. Jika nanti kami merundingkan masalah ini dengan raja, maka bantulah kami untuk mendesaknya agar menyerahkan kaum kami tanpa bertanya tentang agama mereka. Karena tokoh mereka lebih mengetahui agama mereka dan lebih mengetahui keyakinan mereka.”
Para pendeta menjawab, “Baiklah.”
Ummu Salamah berkata, “Yang paling dibenci oleh Amr bin Ash dan temannya ialah apabila raja Najasyi memanggil dan mendengarkan alasan  salah seorang dari kami.
Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah menghadap raja Najasyi dan memberikan hadiah yang mereka bawa kepadanya. Raja Najasyi sangat senang dan kagum dengan hadiah tersebut. Akhirnya kedua orang Quraisy tersebut berkata, “Wahai Raja, ada beberapa orang-orang jahat dari kaum kami yang berlindung ke negerimu. Mereka pergi dengan membawa agama yang tidak kami tidak kenal dan kalianpun tidak mengenalnya. Mereka meninggalkan agama kami dan tidak masuk ke dalam agamamu.”
“Kami diutus oleh para pemuka kaum mereka, bapak maupun keluarga mereka agar engkau mengembalikan mereka pada kami. Mereka adalah manusia yang paling pandai melakukan fitnah.
Raja Najasyi melihat para pendetanya, para pendeta berkata, “Keduanya benar wahai Raja.  Para tokoh mereka lebih mengetahui tentang mereka. Kembalikanlah orang-orang tersebut ke negeri mereka dan biarkanlah pemuka kaum mereka yang mengambil tindakan.”
Sang raja sangat marah dengan perkataan pendetanya. Raja berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka sebelum aku memanggil mereka. Aku akan menanyakan kepada mereka dengan pengakuan yang kalian lontarkan pada mereka. Jika mereka seperti yang disampaikan oleh kedua orang tersebut maka aku akan menyerahkan mereka untuk kalian berdua. Jika ternyata mereka tidak seperti yang dituduhkan, maka aku akan tetap melindungi mereka, berbuat baik dengan mereka dan bertetangga dengan mereka selagi mereka mau tinggal di negeri kami.”
****
Ummu Salamah melanjutkan ceritanya,
Lalu raja Najasyi memanggil kami untuk bertemu dengannya. Sebelum kami menghadapnya kami mengadakan musyawarah. Salah seorang dari kami berkata, “Nanti raja akan bertanya kepada kalian tentang agama kalian. Tunjukkanlah keimanan yang kalian pegang. Hendaklah yang berbicara adalah Ja’far bin Abi Thalib, jangan ada yang berbicara selainnya.”
Kemudian kami pergi menghadap raja Najasyi. Kami dapati raja sudah memanggil para pendetanya. Mereka duduk di samping kanan dan samping kiri raja. Mereka memakai jubah dan peci mereka, mereka juga membentangkan kitab di depan mereka. Di dekat mereka ada Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah.
Ketika kami sudah duduk tenang, raja Najasyi menoleh ke arah kami dan bertanya, “Apa agama yang kalian sering bincangkan hingga sebab agama itu kalian berpisah dengan kaum kalian. Kalian juga tidak masuk ke dalam agamaku, dan juga tidak masuk dalam agama manapun.”
Majulah Ja’far bin Abi Thalib dan berkata, “Wahai raja, dulu kami adalah kaum jahiliyyah (bodoh). Kami menyembah berhala dan makan bangkai, kami melakukan perbuatan keji dan memutuskan tali persudaraan dan kami berbuat jahat dengan tetangga. Orang-orang yang kuat di antara kami memakan yang lemah. Kami terus menerus dalam kondisi seperti itu hingga Allah mengutus seorang Rasul dari kalangan kami. Kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, amanatnya, dan kehati-hatiannya dalam menjaga diri.”
“Rasul tersebut menyeru kami untuk menyembah Allah saja dan tidak menyekutukan dengan siapapun. Dia juga memerintahkan kami untuk meninggalkan sesembahan yang dulu kami sembah dari selainNya baik itu berupa patung maupun berhala dari batu.”
“Rasulullah memerintahkan kami untuk berkata jujur, menunaikan amanat, menyambung tali silaturrahim dan bertetanggga dengan baik. Dia menyuruh kami untuk menghindari hal-hal haram dan pertumpahan darah. Rasulullah juga melarang kami dari perbuatan keji, dusta, memakan harta anak yatim, dan menuduh wanita baik-baik berzina.”
“Rasulullah memerintahkan kami untuk mengesakan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, dan berpuasa di bulan Ramadlan.”
“Kami membenarkannya dan beriman dengannya. Kami mengikuti semua yang turun dari Allah. Kami menghalalkan yang Allah halalkan dan mengharamkan yang Allah haramkan untuk kami.”
“Wahai Raja, sedangkan kaum kami memusuhi kami menyiksa kami dan siksaan yang sangat pedih agar kami keluar dari agama kami dan mengembalikan kami pada peribadatan kepada patung.”
“Ketika mereka terus menzalimi kami, memaksa kami, menyudutkan kami, dan menghalang-halangi kami dari agama kami, akhirnya kami pergi ke negerimu. Kami lebih memilihmu dari selainmu. Kami lebih senang hidup berdampingan denganmu dengan harapan engkau tidak berbuat zalim pada kami.”
Lalu Raja Najasyi menoleh ke arah Ja’far bin Abi Thalib dan bertanya, “Apakah engkau membawa sesuatu yang dibawa oleh nabiMu dari Allah?” Ja’far menjawab, “Iya, kami membawanya.” Raja Najasyi berkata, “Bacakanlah padaku!”
Lalu Ja’far bin Abi Thalib membaca,
Èÿè‹g!2 ÇÊÈ ãø.ÏŒ ÏMuH÷qu‘ y7În/u‘ ¼çny‰ö7tã !$­ƒÌŸ2y— ÇËÈ øŒÎ) 2”yŠ$tR ¼çm­/u‘ ¹ä!#y‰ÏR $wŠÏÿyz ÇÌÈ
1.Kaaf Haa Yaa ‘Ain Shaad.2.(yang dibacakan Ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria, 3.  Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. (Maryam: 1-3)
Ja’far bin Abi Thalib membaca hingga selesai permulaan surat.
Mendengar ayat tersebut raja Najasyi menangis tersedu-sedu hingga air matanya membasahi jenggotnya. Para pendetanyapun juga turut menangis hingga membasahi kitab mereka setelah mereka mendengar ayat Allah.
Di sinilah raja Najasyi berkata kepada kami, “Inilah yang dibawa nabi kalian dan nabi Isa dari satu cahaya.”
Kemudian raja Najasyi menoleh ke arah Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah seraya berkata, “Pergilah, demi Allah, selamanya kami tidak akan menyerahkan mereka kepadamu.”
Ummu Salamah berkata, “Ketika kami keluar dari hadapan raja Najasyi, Amr bin Ash mengancam kami dan berkata kepada temannya, “Demi Allah, besok aku akan menghadap raja Najasyi. Aku akan menyebutkan masalah-masalah agama mereka yang membuat dadanya dipenuhi dengan api kemarahan dan kebencian kepada mereka. Aku juga akan membuat raja Najasyi mencabut mereka hingga ke akar-akarnya.”
Lalu Abdullah bin Abi Rabi’ah berkata, “Janganlah engkau melakukan hal tersebut wahai Amr bin Ash. Mereka juga saudara kita, meskipun mereka berbeda dengan kita.”
Amr bin Ash menjawab, “Biarkanlah aku! Biarkanlah aku! Demi Allah aku akan memberitahukannya dengan apa yang membuat kaki mereka terguncang. Demi Allah aku akan mengatakan kepada raja Najasyi bahwa mereka mengatakan bahwa Isa adalah budak.”
Dan benar, keesokan harinya Amr menghadap raja Najasyi. Amr berkata kepada raja Najasyi, “Wahai raja, sesungguhnya mereka yang berlindung kepadamu mengatakan masalah yang sangat fatal tentang Isa bin Maryam. Panggillah mereka dan tanyakan pada mereka masalah tersebut.”
Ummu Salamah bercerita, “Ketika kami mendengar hal tersebut kami merasa gundah dan panik, kami belum pernah sedikitpun merasakan kondisi tersebut.”
Salah seorang dari kami berkata, “Apa yang akan kalian katakan jika raja Najasyi bertanya mengenai Isa bin Maryam?”
Lalu kami berkata, “Demi Allah, kami tidak akan mengatakan kecuali seperti yang dikatakan Allah. Kami tidak akan keluar seujung kukupun dari yang dibawa Rasulullah. Semoga dengan itu akan terjadi apa yang akan terjadi.”
Akhirnya kami sepakat bahwa yang akan memberikan jawaban juga Ja’far bin Abi Thalib.
Ketika raja Najasyi memanggil kami, kamipun menghadapnya. Kami mendapati para pendeta di sekitar raja dengan kitab di depan mereka, persis seperti hari sebelumnya. Di hadapan raja juga terdapat Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah.
Ketika kami sudah berada di hadapan raja, dengan segera raja bertanya kepada kami, “Apa yang kalian katakan mengenai Isa bin Maryam?”
Ja’far bin Abi Thalib menjawabnya, “Kami akan mengatakannya sesuai dengan yang dikatakan oleh nabi kami Saw.”
Raja Najasyi bertanya, “Apa yang dikatakan oleh nabi kalian?”
Ja’far menjawab, “Nabi kami mengatakan bahwa Isa adalah hamba Allah dan RasulNya. Isa adalah utusan Allah dan kalimatNya yang dia titipkan dalam janin Maryam, wanita yang suci dan masih gadis.”
Ketika raja Najasyi mendengar jawaban Ja’far, seketika dia memukulkan tangannya ke atas tanah seraya berkata, “Demi Allah, tidaklah Isa bin Maryam keluar seujung rambutpun dari yang kalian sampaikan dari nabi kalian.”
Terdengar suara berisik dari para pendeta sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap perkataan raja Najasyi. Raja Najasyi berkata, “Meskipun kalian tidak setuju.”
Lalu raja Najasyi menoleh ke arah kami seraya berkata, “Pergilah kalian, akan kujamin keselamatan kalian. Barangsiapa yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa yang melawan kalian maka akan mendapat hukuman. Demi Allah aku tidak senang memiliki segunung emas, sedangkan salah seorang dari kalian tertimpa perbuatan yang tidak diinginkan.”
Lalu raja Najasyi menoleh ke arah Amr bin Ash dan sahabatnya seraya berkata, “Kembalikan hadiah-hadiah kepada kedua orang ini! Aku tidak membutuhkannya!”
Ummu Salamah berkata, “Keluarlah Amr bin Ash dan sahabatnya dalam keadaan malu, terhina dan perasaannya hancur bertubi-tubi. Sedangkan kami tetap tinggal di rumah yang paling mulia dan tetangga yang paling baik.
****
Ja’far bin Abi Thalib beserta istrinya tinggal di Habasyah dengan penghormatan dari raja Najasyah selama 10 tahun dalam keadaan tenang dan tenteram.
Dan pada tahun 7 H keduanya pergi meninggalkan Habasyah bersama dengan beberapa kaum muslimin menuju kota Madinah. Sesampainya mereka di Madinah ternyata Rasulullah juga baru saja kembali dari Khaibar[1], setelah Allah menaklukkannya.
Rasulullah Saw. sangat bahagia sekali bertemu dengan Ja’far.  Aku tidak tahu apakah yang paling membuat beliau bahagia. Apakah karena ditaklukkannya benteng Khaibar ataukah karena bertemu dengan Ja’far?
Kebahagiaan semua kaum muslimin dan orang-orang miskin dengan kedatangan Ja’far bin Abi Thalib belum seberapa dibandingkan kebahagiaan beliau.
Ja’far adalah orang yang sangat sayang dan pengertian dengan orang-orang miskin bahkan sering berbuat baik kepada mereka, hingga mendapatkan julukan ‘Ayah orang-orang miskin’.
Abu Hurairah menceritakan masalah tersebut, “Sebaik-baik manusia untuk kami orang miskin adalah Ja’far bin Abi Thalib. Dia sering mengajak kami ke rumahnya dan memberikan kami semua makanan yang dia miliki. Hingga ketika semua makanannya sudah habis, dia mengeluarkan kantong yang biasa dia pakai untuk tempat keju. Keju yang ada di dalamnya sudah habis. Lalu kami membelahnya dan menjilati sisa-sisa keju yang ada di dalamnya.
Ja’far tidak tinggal lama di Madinah. Pada awal tahun 8 Hijrah Rasulullah Saw. menyiapkan pasukan untuk memerangi bangsa Romawi. Rasulullah mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai panglima dalam pasukan tersebut. beliau bersabda, “Jika Zaid terbunuh atau terluka, maka panglima yang menggantikannya adalah Ja’far bin Abi Thalib. Jika Ja’far bin Abi Thalib terbunuh, maka panglima yang menggantikannya adalah Abdullah bin Rawahah. Jika Abdullah bin Rawahah juga terbunuh, maka biarlah kaum muslimin yang memilih sendiri panglima dari kalangan mereka.”
Dan ketika pasukan muslimin sampai di Mu’tah, yaitu sebuah desa yang terletak di depan Syam, Yordania. Mereka mendapati pasukan Romawi mengerahkan 100.000 pasukannya ditambah dengan 100.000 pasukan nasrani dari kalangan arab yang berasal dari kabilah Lakhm, Judzam dan Qudza’ah dsb.
Sedangkan pasukan muslimin hanya berjumlah 3000 pasukan.
Ketika perang mulai berkecamuk, seketika itu juga Zaid bin Haritsah tersungkur syahid dalam keadaan menghadapi peperangan bukan melarikan diri. Dengan cepat Ja’far bin Abi Thalib melompat ke atas kuda yang baru saja ditunggangi Zaid. Ja’far menusuk kuda tersebut hingga mati agar tidak dapat digunakan oleh musuh.
Ja’far merengsek ke dalam barisan musuh dengan membawa panji perang seraya bersyair,
Alangkah indahnya surga
Isinya menyenangkan dan makanannya lezat-lezat
Sedangkan bangsa Romawi telah dengan siksaannya
Mereka adalah bangsa kafir, jauh dari keluarganya
Apabila aku berhadapan dengan mereka aku harus membunuhnya
Ja’far berkeliling di barisan musuh dengan menghunus pedangnya, hingga tangan kanannya terkena sabetan pedang hingga tangan kanannya putus. Lalu Ja’far membawa panji perang dengan tangan kirinya. Tidak berselang lama tangan kirnya juga mendapatkan sabetan pedang hingga putus. Ja’far membawa panji perang itu dengan dada dan kedua lengannya. Tidak lama berselang Ja’far tertimpa pukulan pedang yang ketiga hingga membelah tubuhnya menjadi dua. Akhirnya Abdullah bin Rawahah mengambil panji perang tersebut dari Ja’far. Abdullah bin Rawahah terus berperang hingga mendapatkan syahid.
Berita terbunuhnya tiga panglima Rasulullah sampai di telinga beliau. Rasulullah sangat sedih sekali. Seketika itu juga beliau pergi ke rumah sepupunya, Ja’far bin Abi Thalib dan mendapati istrinya, Asma’ bersiap-siap menanti kehadiran suaminya yang pergi.
Asma’ sudah membuatkan adonan kue untuk Ja’far dan juga sudah memandikan anak-anaknya, memberikan wangi-wangian dan memakaikan mereka pakaian yang paling baik.
Asma’ berkata, “Ketika Rasulullah Saw. menemui kami raut muka kesedihan menggelayuti wajah beliau yang mulia. Kecemasan hinggap dalam diriku. Hanya saja aku tidak mau bertanya kepada beliau mengenai Ja’far bin Abi Thalib karena takut jika aku mendengar berita yang tidak aku inginkan dari beliau.”
Lalu Rasulullah mengucapkan salam pada kami dan berkata, “Panggillah anak-anak Ja’far agar menghadapku!” Akupun memanggil mereka agar bertemu Rasulullah.
Mereka berlarian gembira dan menggeram. Mereka mengerubuti beliau. Semuanya ingin dekat dengan beliau. Lalu Rasulullah merangkul mereka dan mencium mereka. Dan kedua matanya mengeluarkan air mata yang terus menetes dari matanya.
Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, apa yang membuatmu menangis? Apakah engkau mendengar berita mengenai Ja’far dan kedua sahabatnya?” Beliau menjawab…..beliau menjawab, “Iya, sungguh mereka bertiga mati syahid pada hari ini juga.”
Mendengar perkataan Rasulullah, sirnalah senyum yang menghiasi wajah-wajah kecil anakku, apalagi ketika ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka berdiri tegak di tempat mereka. Mereka tidak bergerak sedikitpun, seakan-akan di atas mereka ada burung yang hinggap.
Sedangkan Rasulullah pergi dengan mengusap air mata yang menetes dari matanya. Beliau berdoa, “Ya Allah, berilah ganti dari Ja’far kepada anak-anaknya…. Ya Allah, berilah ganti dari Ja’far kepada keluarganya…” Lalu Rasulullah kembali bersabda, “Sungguh aku melihat Ja’far berada di surga, dia memiliki dua sayap yang berlumuran darah. @@@.”

[1] Khaibar adalah benteng kaum Yahudi, Rasulullah menaklukkannya pada tahun 7 H. beliau juga mendapat rampasan perang yang sangat banyak.